Halim Makin Mengerikan!
Kejadian tabrakan pesawat terbang antara pesawat Batik Air dan pesawat Trans Nusa di Bandara Halim Perdanakusuma pada Senin, 4 April 2016 lalu, sayup-sayup sudah mulai dilupakan orang. Namun apa yang sebenarnya terjadi, agak sulit untuk dapat diketahui dengan seksama oleh masyarakat awam terutama para pengguna jasa angkutan udara komersial di Indonesia.
Masalah kejadian kecelakaan pesawat terbang yang sangat teknis ini menjadi rumit, antara lain karena accident itu tidak bisa disimulasikan untuk memperoleh apa gerangan penyebab sebenarnya kejadian tersebut. Simulator Air Traffic Control untuk memainkan atau mensimulasikan pengaturan lalulintas udara di Halim tidak atau belum ada di Indonesia.
Tidak banyak juga yang mengetahui bahwa pada kenyataannya pasca kecelakaan tanggal 4 April lalu, tidak banyak perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan operasi penerbangan sehari-hari di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Penerbangan sipil komersial yang lalulalang di Halim adalah sebuah kegiatan yang sama sekali belum atau tidak ada dalam perencanaan sebelumnya. Penerbangan sipil komersial di Halim adalah wujud dari sebuah keputusan yang bertujuan baik yaitu untuk melonggarkan sedikit kelebihan “air-traffic” yang terjadi akibat salah urus di Cengkareng.
Masalahnya adalah, setelah mengetahui cukup banyak penumpang yang merasa lebih nyaman terbang dari Halim dibanding harus ber “macet-ria” ke Cengkareng, maka yang terjadi justru penambahan ijin rute penerbangan yang sama sekali baru.
Di sinilah sebenarnya salah satu pangkal terjadinya situasi yang harus dicermati dengan seksama, karena telah terjadi sebuah kegiatan yang tidak atau belum direncanakan dengan matang.
Kemungkinan besar terjadinya sebuah kecelakaan atau “most likely accident” sebab utamanya, selalu berasal dari “unplanned activities”, kegiatan yang belum atau bahkan tidak direncanakan terlebih dahulu dengan baik sebelumnya. Apalagi bila sebuah kecelakaan yang telah atau baru saja terjadi tidak atau belum tuntas diselidiki apa gerangan yang menjadi penyebabnya.
Berulang, nyaris fatal
Demikianlah dengan apa yang terjadi di Halim, setelah kejadian tabrakan pesawat pada tanggal 4 April lalu antara Batik Air dengan Trans Nusa. Pada tanggal 7 April 2016, hanya selang beberapa hari saja, telah terjadi lagi sebuah kejadian yang nyaris fatal.
Pesawat Batik Air yang melakukan “overshooting” atau “go around”, membatalkan “landing sequence”, sekuel pendaratan di Runway 24 climbing, terbang naik lagi menuju ke ketinggian 2500 kaki. Pada saat yang bersamaan ada sebuah pesawat Trans Wisata yang sedang “holding”, terbang berputar menunggu giliran untuk mendarat pada ketinggian yang sama yaitu di 2500 kaki juga.
Kecelakaan dapat terhindar, antara lain karena kedua pesawat terbang tersebut telah dilengkapi dengan TCAS (traffic collision avoidance system atau traffic alert and collision avoidance system).
Berikutnya lagi adalah pada tanggal 20 April 2016, pesawat Batik Air dan pesawat Pelita saat itu bersama-sama taxi di Runway 24, (karena Halim tidak memiliki taxiway).
Pelita akan melaksanakan take off sedangkan pesawat Batik Air akan memotong runway menuju/dari parking area. Kejadian yang mirip dengan apa yang telah terjadi pada tanggal 4 April yang lalu saat Batik Air tabrakan dengan TransNusa. Beruntung kejadian fatal tidak sampai terjadi.
Tidak cukup dengan itu, Jumat lalu 22 April 2016, sekitar pukul 15.00 WIB telah ditemukan FOD (Foreign Object Damage) di runway Halim yang berupa kotoran berasal dari terkelupasnya lapisan aspal runway yang dapat membahayakan pesawat take off dan landing.
Upaya membersihkan terlebih dahulu FOD ini telah menyebabkan beberapa pesawat yang tertunda keberangkatan maupun kedatangannya. Hal ini menyangkut penerbangan Batik Air dan Citylink.
Gambaran kengerian
Kesemua itu kiranya sudah cukup memberikan gambaran, betapa mengerikannya kondisi penerbangan di Halim. Tidak usah lagi mempertanyakan betapa terganggunya operasi dan latihan dari empat buah skadron angkut strategis dan taktis yang ber home base di Halim.
Pelaksanaan penerbangan sipil komersial yang “numpang” saja di Halim sudah berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, bagaimana pula penerbangan militer yang harus dilaksanakan untuk memelihara kesiapan operasi dari sebuah Angkatan Udara Republik Indonesia, sebagai jajaran paling depan penjaga kedaulatan Negara di Udara.
Hal ini adalah sebuah masalah yang sangat serius, tentang bagaimana kondisi Halim kini yang harus dibebani dengan penerbangan sipil komersial yang berasal dari muntahan hasil salah urus di Cengkareng dan tambahan rute-rute baru yang hanya berorientasi kepada keuntungan materi semata.
Prosedur lokal sebuah aerodrome seharusnya merupakan SOP (Standard Operating Procedures) baku yang harus dimiliki oleh sebuah Aerodrome yang akan dioperasikan baik untuk sipil maupun militer.
Menjadi kerumitan yang luar biasa adalah bagaimana memadukan SOP sipil dan militer dalam sebuah aerodrome yang digunakan bersama-sama. Itupun bila SOP nya memang sudah dibuat. Sulit sekali membayangkan, bagaimana membuat SOP bersama penggunaan sebuah aerodrome untuk kepentingan penerbangan sipil komersial berjadwal sekaligus kegiatan penerbangan operasi dan latihan dari empat buah Skadron Udara yang berada di situ.
Dengan hanya satu runway dengan tanpa memiliki parallel taxiway harus menata lebih dari 80 penerbangan sipil komersial berjadwal setiap harunya, dipastikan penerbangan skuadron udara yang berada di Halim menjadi terabaikan.
Bila sudah dibuat SOP bersama, pertanyaannya adalah apakah sudah dilakukan dengan mempertimbangkan lingkungan dan perkembangan yang ada, dalam arti di Halim terdapat pula jadwal tentatif dari penerbangan VVIP Kepala Negara dan Tamu Negara setingkat.
Belum lagi diskusi tentang aspek pengamanan, berkait dengan keberadaan Mabes TNI yang sangat dekat dengan alur pola take off dan landing pesawat di Halim. Agak diragukan bahwa Halim sudah memiliki SOP terpadu dalam menyesuaikan standar pola operasi penerbangan sipil dan penerbangan militer di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Operasi dan latihan dari penerbangan Angkatan Udara sangat dinamis dan banyak ketergantungan kepada perencanaan tahunan masing-masing skuadron udara yang harus dirangkum menjadi satu di Base Operation Lanud Halim, sementara penerbangan sipil komersial berada dalam pengaturan otoritas penerbangan sipil nasional dalam hal ini pihak Angkasa Pura sebagai pemegang dari pendelegasian otoritasnya Kementrian Perhubungan. Belum lagi pengaturan lalulintas udara di Halim yang diselenggarakan oleh LPPNPI atau AirNav.
Nah bisa dibayangkan bagaimana institusi-institusi sebanyak itu harus bekerja dengan pola yang berbasis pada kegiatan yang “unplanned activities” sifatnya.
Itupun kita belum membahas tentang keberadaan dan kegiatan dari Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional yang berada di Halim, Markas Besar Komando Operasi Angkatan Udara 1 di Halim, Markas Besar Komando Pendidikan Angkatan Udara, Markas Besar Komando Pertahanan Ibukota Kosek Hanudnas yang semuanya berlokasi di Pangkalan Angkata Udara Halim.
Sekali lagi, memindahkan begitu saja muntahan penerbangan yang amburadul dari Cengkareng benar-benar sebuah solusi yang sangat berbahaya. Kita sedang “bermain api” dengan pengelolaan operasi penerbangan di Halim yang nyaris menjadi “cocok” dengan tag line yang berbunyi “danger is my business”.
Kita semua memang sangat mendambakan kemajuan dan pertumbuhan dari penerbangan sipil komersial di negeri ini, namun kita juga sepakat tentunya bahwa kemajuan penerbangan sipil komersial tidak dilakukan dengan cara cara yang menyulitkan ruang gerak sistem pertahanan keamanan Negara.
Angin segar
Angin segar sudah terasa bertiup dari Ketua Komisi 5 DPR RI dalam rapat dengar pendapat bersama Menteri Perhubungan sesaat setelah kejadian kecelakaan konyol di Halim beberapa waktu lalu. Komisi 5 DPR RI telah mengusulkan bahwa Halim segera dikosongkan saja dari kegiatan penerbangan sipil komersial.
Usulan inipun telah disetujui dengan baik oleh Menhub dengan catatan akan memerlukan waktu satu sampai dua tahun ke depan. Sebuah usulan yang sangat mewakili keinginan dari semua orang yang berakal sehat dan juga sebuah persetujuan Menteri yang sangat menyadari tentang “bahaya” yang mengancam pada pola penyelenggaraan operasi penerbangan sipil komersial yang sangat rendah dalam konteks pengelolaan dan manajemennya.
Nafsu besar yang hanya melihat pada kepentingan diri sendiri memang harus dikendalikan dan diakhiri, bila tidak maka “bencana” lah yang akan datang menjelang.
Vernon Howard, seorang penulis buku kenamaan Amerika menggaris bawahi, “You have succeeded in life when all you really WANT is only what you really NEED
ANALISIS TEKNIS TABRAKAN PESAWAT HALIM : Kelalaian Pilot
Terjadinya kecelakaan, tabrakan pesawat terbang antara Batik Air dengan Trans Nusa di Halim Perdanakusuma, Senin 4 April 2016 yang membuktikan bahwa penerbangan komersial di Halim sangat berpotensi untuk terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal.
Apa sebenarnya penyebab terjadinya tabrakan pesawat tersebut, tidak akan pernah diketahui dengan pasti sampai nanti Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) selesai melakukan proses investigasi.
Apabila kita melihat sekilas pada kejadian tabrakan pesawat di Halim itu, dengan mudah dapat disajikan analisis teknis mengapa kejadian seperti itu bisa terjadi. Ada banyak sekali kemungkinan yang menjadi penyebabnya, satu di antaranya adalah kelalaian pilot.
Sekali lagi ini hanyalah analisis teknis tentang mengapa kejadian tabrakan pesawat seperti yang terjadi di Halim dapat terjadi. Tidak bermaksud melangkahi KNKT yang tengah melakukan investigasi akan tetapi sekedar sebagai pengetahuan umum saja, bahwa memang kecelekaan sejenis itu bisa terjadi.
Seorang pilot yang dibantu kopilot, dalam melakukan take off seharusnya melihat terlebih dahulu kedepan arah runway yang akan dilaluinya sebelum memutuskan untuk take off. Bila pilot dan kopilot tidak melihat ke luar arah runway yang akan dilaluinya untuk take off, maka wajar sekali tabrakan akan terjadi, yaitu bila ada pesawat terbang yang tengah melintas runway menyeberang kearah yang berlawanan.
Adalah tidak mungkin pilot tidak melihat ke luar ke arah runway sebelum take off, kecuali sang pilot mungkin dalam keadaan terburu-buru (mengejar setoran, karena esok harinya dan tangal 9 April Halim ditutup untuk pnerbangan komersial dalam rangka HUT AURI) atau memang sudah tahu akan banyak pesawat lain yang antre untuk take off dan atau landing setelah pesawat dia, dan kemudian percaya saja dengan “clearance” dari Petugas ATC (Air Traffic Control), atau ijin take off dari menara pengawas.
Atau bila sang pilot memang sudah “fatique”, kelelahan yang bukan fisik sebagai akibat sudah terbang melampaui jumlah jam terbang yang ditentukan. Kemungkinan lainnya adalah kualifikasi pilot sebagai kapten adalah produk “karbitan” karena memang saat ini Indonesia berada dalam kondisi kekurangan tenaga pilot.
Manajemen kejar setoran
Terburu-buru di Halim, sangat normal terjadi dan ada beberapa faktor yang mendukung, yaitu, antara lain air traffic di Halim memang sudah cukup padat. Beberapa waktu lalu untuk landing saja dibutuhkan waktu hingga 40 menit berputar-putar di atas Halim. Jadi wajar sekali orang akan take off terburu-buru.
Selain itu, sekali lagi pada keesokan harinya Halim akan digunakan untuk penerbangan latihan pesawat tempur Angkatan Udara dalam rangka peringatan 9 April 2016 , Hari Angkatan Udara.
Wajar juga, untuk “kejar setoran” maka malam-malam pun dilakukan penerbangan agar tidak merugi, karena besok pagi tidak bisa terbang karena dipakai latihan Angkatan Udara.
Di samping itu pesawat Trans Nusa terkesan pula terburu-buru dipindahkan malam itu juga dengan alasan entah mengapa tetapi bisa saja antara lain karena memang apron (tempat parkir pesawat) yang sempit sehingga pesawat harus segera dipindahkan ke tempat lain yaitu di seberang landasan.
Pilot “fatique”, banyak sekali kemungkinannya yang antara lain adalah jam terbang sang pilot sudah melebihi batas yang diperbolehkan. Bisa dengan mudah di cek log book pilot dalam hal ini apakah dia memang sudah melewati batasan yang ditentukan atau tidak. Atau di hari itu mereka sudah kelelahan dan ingin segera menyelesaikan misi penerbangannya di malam hari itu.
Di samping kita memang sedang berada dalam kondisi kekurangan pilot, rekam jejak Batik Air yang berada dalam satu naungan manajemen dengan Lion Air diketahui beberapa waktu lalu pilotnya ada yang terlibat kasus Narkoba. Dapat dengan mudah di cek, apakah benar atau tidak dengan cek laboratorium.
Tentang kualifikasi pilot dan kopilot, patut menjadi sorotan pula, karena mendidik pilot dengan jam terbang karbitan adalah bukan hal yang mustahil di tengah-tengah kondisi jumlah pilot yang kurang. Demikian pula dengan kualifikasi sang kopilot.
Di sisi lain dapat juga didalami faktor rekam jejak sang kapten pilot, apakah pernah mengalami kecelakaan yang mirip-mirip dengan kejadian di Halim tersebut pada waktu yang lalu.
Masih banyak lagi kemungkinan lainnya, yang pada dasarnya keteloderan pilot adalah penyebab yang paling besar bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dalam hal take off yang menabrak pesawat lain di runway.
Bila pilot take off tidak melihat ke luar arah runway yang akan dilaluinya, kemungkinan menabrak apa saja di runway menjadi sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa terungkap dari wawancara dan data penerbangan serta data yang diperoleh dari black box nantinya.
Mengenai kealpaaan petugas di menara pengawas lalulintas udara di tower, bisa saja yang terjadi adalah bahwa petugas memberikan “clearance” untuk clear for take off pada saat pesawat masih dalam keadaan taxi (menggunakan runway karena Halim tidak memiliki taxiway) dekat ujung landasan sebelum berputar untuk kemudian rolling take off.
Dengan catatan bahwa kebiasaan pilot yang standar adalah berhenti dulu sebelum mulai rolling take off, sehingga menurut perhitungannya pesawat Trans Nusa yang sudah berada dekat tepian runway akan sudah “clear” dari runway.
Namun yang terjadi, kemungkinan besar sang pilot sambil berputar arah, langsung “rolling take off” tanpa menghentikan dulu pesawatnya di ujung runway untuk mulai ancang-ancang dalam melakukan take off.
Dengan demikian maka senggolan tidak dapat dihindarkan karena masih ada yang tersisa dari badan pesawat Trans Nusa yang belum “clear” sama sekali dari runway. Di samping itu, mungkin juga radio frekuensi yang digunakan oleh petugas penarik pesawat Trans Nusa berbeda sehingga komunikasinya tidak terdengar oleh pilot Batik Air.
Itu semua adalah sekedar analisis teknis bahwa tabrakan pesawat bisa saja terjadi di Halim. Tentu saja semua kemungkinan yang diuraikan tersebut memerlukan data pendukung, yang biasanya diperoleh dari hasil investigasi berupa wawancara dan cross-check dengan hasil pembacaan black box.
Bila lebih didalami lagi, maka kondisi Halim yang hanya memiliki satu runway dan tidak memiliki taxiway serta kondisi apron yang sangat sempit, mendapat beban yang luar biasa karena disamping sudah ada 4 skuadron udara dan satu skuadron pemeliharaan serta Paskhasau di sana, masih pula di jejali dengan aneka penerbangan sipil komersial yang konon sudah mencapai angka lebih dari 70 take off landing setiap harinya.
Kecerobohan pengelolaan
Intinya adalah, kecerobohan besar dalam pengelolaan penerbangan sipil komersial di Cengkareng yang menyebabkan amburadulnya International Airport itu, hanya dicarikan solusi yang “gampang” saja yaitu pindahkan muntahannya ke Halim.
Lebih gawat lagi adalah tidak sekedar memindahkan kesemrawutan Cengkareng ke Halim bahkan kemudian menambah ijin rute penerbangan yang akan berangkat dari Halim, karena memang banyak orang berminat untuk lebih senang berangkat dan datang dari dan di Halim dibanding harus ke Cengkareng.
Itulah semua hasil dari nafsu besar mengejar pertumbuhan penumpang dan barang semata tanpa memikirkan secara serius ketersediaan sumber daya manusia penunjang penerbangan dan kesiapan infrastruktur dalam konteks “Aviation Safety”.
Bila tidak dilakukan segera tindakan yang fundamental sifatnya, maka tidak hanya penerbangan di Cengkareng yang berbahaya akan tetapi penerbangan di Halim menjadi jauh lebih berbahaya.
Dalam hal ini sangat dianjurkan bagi siapa saja, bila tidak terlalu penting hindarilah bepergian dengan pesawat terbang, agar frekuensi penerbangan dapat sedikit dikurangi yang secara otomatis akan juga menurunkan sedikit, risiko dari kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat terban
By Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim
Gambar by Google dan Patsus Citox
32 Komentar
FIR gimana kabarnya dengan kejadian ini?
errare humanum est. perseverare diabolicum
Semoga saja Halim benar2 kembali menjadi Murni Pangkalan Militer..
Jgn mencampurkan Komersil dg Kepentingan jauh lbh besar..
Memang pemerintah tidak mampu ya.. Membuat bandara lain..
Kenapa harus d Halim..
Atau bangun bandara diluar Jakarta tapi masih di Jabotabek.. Dmana orang2 Jakarta bisa mengakses dengan cepat..
Tp tetap aman dan terkontrol..
Kalau saran sih ndax punya.. Sebab saya orang yg awam utk urusan ini..
Salam NKRI
ada bandara internasional kertajati, majalengka jabar. yang sedang dibangun, tetapi baru jadi tahun 2017/2018..
Mbak maaf sebenarnya itu memang sudah sangat diinginkan tapi karena keterbatasan biaya juga pula lahan mana mungkin bisa dibangun dari runway saja kita butuh 4 kilometer panjangnya lalu untuk taxiway dan apron kita butuh berhektar hektar luas lahannya ditambah lagi dengan hangar dan tempat pemeliharaan peswatnya lagipula apakah warga mau membebaskan lahannya untuk bandara yang akan dibangun seperti itu masalahnya.ok makasih
Hehehhehe.. Kenapa hrs dihalim..? sebegitu daruratnyakah sehingga harus mengorbankan kepentingan nasional..? Ada kepentingan bisnis yg dipaksakan shg bisa berdiri diatas kepentingan nasional..dan patut diwaspadai ada kepentingan asing utk lbh leluasa memantau halim sbg hanud dan mabes tni yg lokasinya disekitar halim.. Dgn traffick yg tinggi otomatis akan mengkebiri pergerakan alutsista dan kerahasiaan ops hanud utk melindungi ibukota..
Cermati saja..dan jika terjadi bencana maka ada yg hrs bertanggung jawab secara total thd kejadian itu..
Adios amigos tiarap meneh..
Salam Bapak Marsekal.
Lion semoga saja
Melihat, mendengar dan sudah diuraikan panjang lebar diatas berdasarkan analisa, tanpa mengurangi rasa hormat kepada KNKT yang sedang menyelidiki kejadian2 diatas…..
Berkaca dengan kejadian yang ada di negeri seberang….dimana Pesawat sipil dijadikan MARTIR…. kalo bisa sih jangan sampe terjadi..amit amit… Alangkah baiknya mencegah dari pada mengobati..
Sudah selayaknya halim harus segera disterilkan dengan penerbangan sipil.
Mendengar kabar dari media.. dalam beberapa bulan ini Terminal 3 yang sudah tinggal finishing bisa menampung lebih banyak lagi penumpang, Akan menjadi alasan yang tepat, otoritas halim mengajukan pemindahan penerbangan sipil kembali ke Soekarno Hatta, namun masalahnya sudah ditekan kontrak pengelolaan dari AP ke Group Lion. dan kontrak tersebut lumayan lama.
Ya minimal dibatasi jumlah penerbangan maksimal 50 x per hari dari yang sekarang bisa mencapai 70… jadi ada kelonggaran dalam persiapan penerbangan. dst dst….
perjanjian dihalim dari tahun berapa?
sepenggal info dari Media Tempo…
Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Angkasa Pura II tentang pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma. Dengan putusan ini berarti hak kelola ada pada PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) –Lion Air Group.
Perkara yang diajukan pada 2 November 2015 itu diputus 11 Februari lalu oleh Syamsul Ma’arif (Ketua) dan anggota I Gusti Agung Sumanatha serta Mohammad Salah.
Dengan alasan belum menerima salinan putusan, Direktur Utama Lion Air, Edward Sirait, enggan mengomentari putusan tersebut.
Corporate Secretary PT AP II Agus Haryadi mengatakan pihaknya akan membicarakan putusan itu dengan penggugat tentang konsep pengelolaan bandara akan seperti apa.
Menurut Agus, dengan putusan MA itu PT ATS tidak serta merta bisa menjadi pengelola. “Sepanjang yang saya tahu, pengelola bandara harus memiliki sertifikat badan usaha bandar udara (BUBU). Kelihatannya baru AP I dan AP II yang memiliki itu,” ujarnya seperti ditulis Detikcom.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Dwi Badarmanto, mengatakan di Halim itu ada bandara dan lanud. Bandara, kata dia, dikelola bersama oleh Inkopau dan PT AP II. “PT ATS adalah pengguna yang dikerjasamakan,” ujarnya dikutip CNNIndonesia.
Yang jelas, kata dia, siapapun yang dimenangkan MA, aktivitas pertahanan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, tak boleh terganggu oleh sengketa itu. “Mau kami gunakan setiap hari, setiap malam, tidak boleh ada yang mengganggu,” ujar Dwi.
Pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma ini awalnya memang diserahkan ke Angkasa Pura II berdasarkan kesepakatan antara Kepala Staf TNI AU dengan Dirjen Perhubungan Udara pada 5 Juni 1997. Dalam kesepakatan ini, pengelolaan bandara sipil diserahkan ke AP II. Kesepakatan ini disusul terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengoperasian Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara Halim Perdanakusuma.
Sengketa mulai muncul pada 2005. Saat itu Induk Koperasi Angkatan Udara (Inkopau) membuat perjanjian dengan perusahaan di bawah Lion Group, PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS) lewat surat perjanjian Nomor Sperjan/10-09/03/01/Inkopau Nomor 003/JT-WON/PKS/II/2005 tentang Pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma pada 24 Februari 2005.
Dalam perjanjian ini Lion Air Group mendapat hak konsesi pengelolaan Halim selama 25 tahun sejak 2006. Konsesi akan berakhir pada 2031. Selanjutnya, sesuai dengan kontrak, konsesi bisa diperpanjang hingga lima tahun lagi.
Bentuk pengelolaan Halim, menurut Lion Air, nantinya akan sama dengan bandara komersial pada umumnya. Bandara yang akan dikelola PT ATS akan menjadi bandara pesawat penumpang.
“Tak ada perubahan status, tetap bandara umum,” kata Edward pada Oktober 2014 sepert ditulis Koran Tempo. “Hanya airport tax yang menentukan kami. Kan kami pengelolanya.”
Sayangnya, meski sudah meneken perjanjian, PT AP II tak juga menyerahkan hak pengelolaannya ke PT ATS. PT ATS pun lantas menggugat Inkopau dan AP II ke PN Jakarta Timur. Pada 2 Mei 2011 PN Jaktim mengabulkan gugatan yang diajukan PT ATS.
Rupanya PT AP II tak terima. Mereka mengajukan banding. Pada tingkat banding, pengadilan tetap memenangkan PT ATS. Begitu juga saat kasasi. Hakim MA, pada 16 Juli 2014 kembali menguatkan putusan pengadilan itu.
masalahe 2031 kan masih lama.. kira2 bisa ngga ya dibatalkan di tengah jalan dengan alasan keamanan Negara
Ehem…
Sebenarnya solusinya cukup mudah.
Coba lihat di google earth.
Sebelah Halim ada tanah kosong yang dipergunakan untuk padang golf.
Gusur saja padang golfnya dan jadikan landasan.
Sehingga antara landasan yang lama (landasan sekarang) dengan landasan dari padang golf akan membentuk huruf V.
Satu landasan untuk komersial. Satu lagi untuk militer.
Apakah mungkin landasan huruf V mungkin saja. Landasan tipe huruf A pun juga bisa.
Coba aja di googling gambar skema landasan.
Cuma masalahnya mau apa tidak buat landasan baru.
Menurut saya ide bung TN boleh juga tapi paling cuma mengurangi resiko kecelakaan sperti kemarin , latihan militer jadi tdk terganggu….tapi masih ada yg belum terselesaikan yaitu Pangkalan militer masih gabung dg bandara komersil. Sehingga keamanan masih sangat lemah , mudah utk di sabotase musuh…
Solusinya tetep salah satu ngalah , sebaiknya penerbangan komersil yg pindah….halim harus steril dr penerbangan komersil.
nah ntu die bung
yg skrg sy rasa cm kn getahny aja
Secara berfikir jangka panjang sih bisa aja..tuh lapangan golf di sisir jadikan landasan baru….kalo perlu buat landasan udaranya diatas (jalan layang)….dari Unkris sampai Pondok gede..cukuplah panjang 2.5 km untuk Pesawat Tempur….Toh..dibawah masih bisa dipakai daerah Resapan dan lahan Hijau…(main golf pake jaring aja biar aman)
Tak segampang itu bung!! Rumit loh kalau tahu rasanya menjaga fighter jet safe at ground..
Halim adalah high level military base! Sama dg IWJ,HND. Menjaga halim agar tdk di buat rusuh krn petasan ceplik aja sdh sangat susah.
Beginilah klo bisnismen merasa hebat dg duit jg koneksinya. RI1,Panglima TNI harus tegas! Kembalikan Halim seperti tahun 1960an! Biarkan halim dg keanggunan,keelokan juga keangkeran nya. Apa yg bakal terjadi jika ada chaos? Airstrike? Apa itu Lion Grup bakal siap berkorban?
Bahkan ada kawan yg berkata “bang, gw klo mau bisa aja taro permen karet disana dan buat kembang api! Kaya sayaret matkal di beirut airport” terlalu mudah dan simple bang!!
Kembalikan halim kepada TNI AU! Apa perlu high incident dulu baru dikasih? Apa perlu di rebut paksa dr sipil?
Kalo mau enak,silahkan buat cengkareng lbh luas dan besar!!
Seru kali ya klo ada yg tiba2 kuasai halim lbh dari 200jam.. Hehehe
#kekesalan saat di Nomor duakan krn ada “sipil mau landing”
Hehehhehe… Benar bung@PR.. Jika jalur pendaratan dan landing masih di area yg sama sgt sulit mengindentifikasi pesawat yg disetting utk sabotase..
Area penerbangan halim hrs steril..Apa tdk menjadi riskan jika kejadian 11 sept di asu terjadi disini.. Pesawat sipil yg dibajak bisa dijatuhkan di pangkalan militer dan kohanudnas.. atau sedikit dibelokkan arah dan nyungsep di mabes tni cilangkap..? Hilang sdh pusat pertahanan negara yg menjadi object vital..
Jadi bukan sekedar menambah runway atau taxi waynya..apalagi jika ditambah dgn adanya titik pemberangkatan Kereta cepat..semakin terbuka dan rentan keamanan di pangkalan strategis ibukota.
Perumahan militer dan lahan hutan diisekeliling pangkalan halim sebenarnya merupakan setting sbg ring pengamanan yg berlapis utk melindungi semua kegiatan ops dari pantauan pihak luar jika itu terbuka maka hilanglah essensi pengaman sbg object vital.
Adios amigos tiarap meneh
semoga sgera mndapat solusi trbaik, bgaimanapun, resiko sekecil apapun tak layak dijudikan dan menunggu musibah dtg disaat kita faham kmungkinannya yg besar, sungguh ibarat rencana sebuah pembunuhan.
Pak chappy, sy rasa tangan anda msh cukup utk mnggapai beranda istana…sdikit brsabar mnunggu timing yg pas tntu anda akan terdengar sgt dominan diantara suara yg lantang saat ini…
Salam…
Miris rasanya “Ditelanjangi” frontal disana!.
Sudah berapa aset asing yg tumbang di halim jg IWJ,HND? Apa perlu sipil di korbankan agar mereka yg haus Duit melek mata?
Apa jadinya nanti jika fully expose aset kita disana? Bakal sia-sia kerja keras “tukang cleaning service” nya.
Pak cheppy jika tangan dan mulut bpk tdk dianggap mungkin bung daniel maukar bisa di panggil lagi agar bsa kasih salam ke istana.. (Dulu farmer aja bisa bikin heboh,apalagi si super yaa..hehehe)
Hehehhehehe… Salam sehat bung@pr.. Begitu mengerikan jika sisi keamanan nasional dipertaruhkan hanya utk kepentingan bisnis semata..semoga terminal 3 soetta bulan juni ini bisa mulai mengurangi kepadatan jadwal disana..dan semoga dalam waktu dekat halim dan sekitarnya bisa dikembalikan menjadi lebih steril dari kepentingan bisnis semata.
Dan mungkin bung@T dgn pataka digenggaman bisa lebih membantu pak chappy menjangkau beranda RI1 utk lbh aware thd situasi yg mungkin bisa terjadi.
Adios amigos semoga perlu ada lg daniel maukar dgn tukino yg hrs mendarat di sawah..hehehhe
Ralat: semoga Tak perlu ada lagi tukino yg mendarat disawah…hehehehhe..
Ralat lagi..semoga tidak ada tukino yg mendarat disawah mengikuti jejak mr daniel yg dulu..hehehehehe.. Krn emang tukino skrg blm ada yg nyasar ya..Kalo salah tulis lagi emmbbuuhh..wis mumet ndasku..
Rasanya pernah ada orang yang vokal tentang Halim dijadikan penerbangan sipil juga jauh hari waktu belum ada kejadian seperti ini namun dikatakan orang tersebut iri dengki, syirik, sakit hati dan lain lain sekarang kejadian baru pada ngerti hahahahaha telmi sekali
Jadi Intinya… jika sudah ada pengganti…secepatnya sipil harus hengkang dan pindah ke bandara sipil beneran… harusnya tahun ini sdh bisa pindah ke Soekarno Hatta, Teminal 3 kan sudah mendekati 100 % rampung…. untuk perjanjian kontrak masihlah di amandemen atau direvisi..mengingat pentingnya tempat vital yang namanya LANUD HALIM PERDANA KUSUMA…full Militer + VVIP… semoga
ketika pemerintah tidak didahului dengan data dan penelitian yang memadai dalam mengambil kebijkan justu membuahkan hasil mengecewakan dan amburadul. ketika halim menjadi komersil maka itu pertanda ketidakmampuan me manage jalur tranportasi masal… bayangkan saja setiap penerbangan seluruh indonesia numpuk dicengkareng. seharusnya gunakan sistem regional sesuai zona waktu indonesia sehingga menjadi efektif dari segi dana dan waktu. misalnya: daerah sumatra medan jadi bandara utama, tengah-samarinda, timur maksar. begitu juga jalur logistik harus dibagi jadi 3 bagian sehingga lebih efisien.
sejak kita mendengungkan desentralisasi pemerintahan sangat disyangkan tidak diikuti oleh kebijakan disektor lain,seperti yg saya sebutkan tadi. jaman orde lama daerah diberikan wewenang dalam mengambil kebijakan sektor ekonomi mandiri misalnya pajak, dan ekspor barang. jaman dulu aceh salah satu pengekspor kopi terbesar dunia karena menerapkan pembeli langsung datang kewilayah produksi bukan melalui pusat yg begitu banyak aturan berbelit…mungkin ini sedikit selayang pandang masalah negri ini yg harus kita rajut kembali satu persatu…salam patriot
selama “UUD” masih diagungkan….alamat negara selalu terancam…..kepentingan negara dinomor sekiankan….. Pak Presiden dan Para Menteri gimana dong…bisa kah ditindalanjuti….???
bukan mau nyumpahin, tapi apaiya, nunggu chaos bomnyassar dan merusak HPK baru pada MELEKmatanya!!! SADAR DONK!! di sana ada obvit, kalau di umbar membahayakan keamanan nasional!! BUKA MATA BUKA TELINGA… WASPADALAH!!
atau tunggu ada kecelakaan besar yang makan korban buanyak…baru pada ribut salahin sana salahin sini!! REAKTIF sekali. PREVENTIF donk! jaga jangan sampai terjadi. SIPIL pindah ke wilayah SIPIL!
atau malah itu yang obvit launcher dari bawah tanah dan mumbul dari spot ntah dimanah itu?.. hhehe,. hanya imajinasi liar bung ~,. hhehe
sudah ada tanda2 kecil….nih….awalnya jadwal penerbangan..delay,,, pesawat rusak,,,,pilot mogok,,,eh pesawat nyasar mendarat….trus besok apa lagi ya….tunggu aja kelanjutannya….
Pindahkan aja ke bandara Karawang. Segera bangun bangun bandara karawang.
baiknya dibuat bandara di pinggiran kota bandung sebagai satelit CGK karena sudah ada kereta cepat toh.. tinggal yang mummet bin jangar adalah pembebasan lahan karena jalur kereta cepat harus ekslusif gak boleh di gunakan kereta jenis lain.
pembagian bandara diharapkan dapat membagi beban dan menyebarkan pengembangan ekonomi
tapi sebelum dikembangkanharus ada cetak biru jangka panjang serta payung hukum nah ini dia kita lemah disni.. karena semua gontok2an proyek dengan segala cara