PAJAK JEBLOK, MALAK LAGI-NGUTANG LAGI?

42

PAJAK JEBLOK, MALAK LAGI-NGUTANG LAGI?

 

IMG-20171011-WA0173

Sampai September 2017 penerimaan pajak baru mencapai Rp770,7 triliun. Angka ini hanya 60% dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.284 triliun. Artinya, aparat pajak harus bekerja ekstra keras mengumpulkan Rp513 triliun dalam tempo 2,5 bulan sebelum 2017 berakhir.

Pajak sejak beberapa tahun silam memang kadung menjadi penyumbang utama APBN. Pada APBN 2017 sebelum direvisi menjadi APBN-P, misalnya, kontribusi pajak dalam penerimaan negara mencapai Rp1.499 triliun alias 85,6% dari total penerimaan.

Sayangnya, selama beberapa tahun terakhir perolehan pajak selalu meleset dari target. Sampai September tahun ini, jumlah yang berhasil dikumpulkan turun 2,79% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang Rp791,9 triliun. Padahal, target-target itu dalam APBN-P selalu sudah diturunkan. Contohnya, pada APBN 2017 sebelumnya pajak dipatok Rp1.498 triliun. Namun dalam APBN-P 2017 targetnya diturunkan Rp215 triliun menjadi Rp1.284 triliun.

Apa boleh buat, kinerja perpajakan kita memang jeblok. Sejak 2013-2017 perolehannya selalu tidak beringsut jauh dari 60% dari target (yang telah diturunkan). Pada 2013, cuma sekitar 63,18%. Bahkan pada 2015 dan 2016, masing-masing hanya 53% dan 58,4%. Satu-satunya yang agak menggembirakan terjadi pada 2014, itu pun hanya 64,16%.

Kemampuan rendah

Bagaimana kita memaknai angka-angka tersebut? Repot juga, memang. Tapi dari sini paling tidak kita bisa menyimpulkan, kemampuan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan jajarannya dalam menyusun APBN amat lemah. Kalau sekali-dua kali meleset dari target, mungkin masih bisa diterima. Tapi jika selalu di bawah banderol, bahkan ketika target telah diturunkan sekali pun, tentu persoalannya jadi lain. Kapasitas dan kapabilitasnya rendah.

Barangkali Sri bisa saja berkilah, bahwa melorotnya penerimaan pajak karena situasi perekenomian nasional dan global yang tidak bersahabat. Jika ini yang menjadi alasan, mengapa justru kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) yang dia lakukan?

Gunting tajam anggaran Sri memotong berbagai alokasi dana, khususnya untuk pembangunan dan subsidi sosial. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur terkatung-katung kehabisan dana. Beban rakyat jadi kian berat karena BBM naik, listrik naik, gas naik.

Kebijakan ini senafas dengan garis Bank Dunia di negeri-negeri yang sedang krisis di Eropa Barat. Hasilnya justru memperburuk situasi ekonomi dalam negeri mereka. Di mata kaum neolib, subsidi adalah pendistorsi ekonomi. Subsidi menjadi barang haram yang amat tabu diterapkan. Karenanya subsidi harus ditekan serendah mungkin, jika bisa mencapai titik nol.

Fakta perolehan pajak yang kembali jauh dari target jelas berita buruk. Bukan tidak mungkin kondisi akan menjadi lebih buruk lagi seiring dengan berbagai tindakan yang segera Sri ambil. Menilik rekam jejaknya, bisa jadi dia akan kembali sibuk menelisik soal-soal printal-printil dari rakyatnya untuk dihisap pajaknya.

Dalih yang dikedepankan adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Padahal, pasti Sri tahu, bahwa nafsunya memalaki rakyatnya dengan berbagai printal-printil tadi pasti tidak akan menghasilkan penerimaan yang signifikan. Pada saat yang sama, kehebohan itu justru membuat beban rakyat makin berat saja. Secara politis, ini bisa mengganggu target-target Presiden, terutama dikaitkan dengan Pilpres 2019.

dedenew549

Kejar yang kakap

Sejatinya, kalau mau, Sri bisa berkonsentrasi mengejar potensi pendapatan pajak dari kelompok kakap. Dia, umpamanya, bisa menjadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengemplangan pajak yang dilakukan PT Freeport Indonesia sebesar Rp 6 triliun.

Atau, Menkeu bisa mengerahkan kesaktiannya untuk mengulik kembali kasus Honggo Wendratno dan Raden Priyono. Mereka adalah dua orang tersangka kasus korupsi pencucian uang terkait penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan BP Migas, Kementerian ESDM, dan PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI). Kasusnya terjadi pada periode 2009 sampai 2010.
Honggo adalah Pendiri PT TPPI yang diduga mengambil kondensat bagian negara dari BP Migas tanpa kontrak yang sah. Sedangkan Raden Priyono adalah kepala BP Migas. Dalam auditnya, BPK menyatakan total kerugian negara dalam kasus ini mencapai US$2,715 juta lebih atau sekitar Rp34 trilliun. Jumlah ini jelas sangat signifikan memberi tambahan dari sisi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Tapi, berdasarkan rekam jejaknya, lagi-lagi publik ragu apakah Sri akan mau mengejar para ‘rakyat besar’ itu. Selama ini dia dikenal sangat galak memalak pajak terhadap rakyat kecil. Sebaliknya, kalau terhadap yang besar-besar, dia cenderung mencari jalan aman. Bahkan, kepada Freeport yang berkali-kali menabrak aturan dan perundang-undangan serta jelas-jelas menunjukkan arogansi luar biasa, dia justru sibuk menyusun aturan yang bakal meringankan pajaknya.

Resep lama

Yang mungkin dia akan lakukan sehubungan lunglainya penerimaan perpajakan, Sri akan kembali menerapkan resep lama. Memangkas anggaran dan membuat utang baru. Sejak menjadi Menkeu pada Juli 2016, sampai Oktober 2016 (hanya dalam tempo tiga bulan), dia sudah memotong anggaran di APBN 2016 sebesar Rp133,8 triliun. Dalam penjelasannya kepada pers dia mengatakan, pemotongan anggaran dilakukan karena kemungkinan penerimaan negara dari sisi pajak bakal kurang sekitar Rp219 triliun.

Kebijakan Sri yang memangkas anggaran adalah bukti nyata bagaimana dia begitu setia dengan kacamata kuda neolibnya. Padahal, pemotongan anggaran hanya bagus di mata pasar (baca: World Bank, IMF, ADB, dan para konconya). Kenapa? Karena dengan memotong anggaran nilai aset di dalam negeri bakal stagnan, bahkan bisa turun. Nah saat itulah investor getol belanja aset di sini.

Pemotongan anggaran juga memberikan ruang fiskal lebih luas bagi APBN. Kelonggaran ini dimanfaatkan untuk membayar bunga dan pokok utang luar negeri. Tentu saja, para bond holder bersorak-sorai karenanya. Apalagi Sri memang sangat dikenal sebagai Menkeu yang rajin mengobral bunga supertinggi untuk tiap obligasi yang diterbitkan negeri ini.

Kemungkinan kedua yang bakal dia lakukan, adalah kembali membuat utang baru. Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu menyebutkan, hingga akhir Agustus 2017, jumlah utang kita mencapai Rp3.826 triliun. Jumlah ini sudah sangat luar biasa besar.

Sebagai pejuang neolib yang kelewat percaya diri (PD), Sri selalu saja merasa bisa menyodorkan dalih untuk membuat utang baru. Salah satunya dengan mengatakan, utang tetap sangat diperlukan agar defisit APBN tidak melebar. Di sisi lain, UU memberi batas toleransi defisit APBN maksimal sebesar 3% dari PDB. Jadi, supaya tidak menabrak UU, ya defisit harus dikurangi. Caranya, buat utang baru lagi.

Dia juga merasa nyaman-nyaman saja terus membuat utang baru. Alasannya, Indonesia punya sumber daya alam (SDA) yang berlimpah ruah yang bisa dijual untuk membayar utang. Lagi pula, katanya lagi, bukankah jumlah utang masih di bawah 30% dari PDB? Angka ini jauh di bawah batas aman seperti yang diatur dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60% dari PDB.

Padahal rasio utang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utangnya. PDB hanyalah output atas seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu. Ia cuma perhitungan statistik belaka, sama sekali tidak berbentuk cash. Di sinilah kuncinya.

Kalau mau fair, utang harus diperbandingkan dengan kemampuan pemerintah melunasi utang-utangnya. Artinya, lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah plus bunga dengan penerimaan negara, baik dari sisi pajak maupun nonpajak, yaitu ekspor.

Data Kemenkeu menyebutkan, setiap tahun rasio pembayaran cicilan utang pemerintah, termasuk bunga, terhadap penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, cenderung naik. Pada 2011 rasionya sekitar 19,03%. Namun angkanya melejit jadi 27,87% pada 2016. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah plus termasuk bunga terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25% pada 2011 jadi 32,31% di 2016.

Sudah gawat!
Berdasarkan data-data rasio tadi, sedikitnya ada dua yang gawat. Pertama, beban pembayaran utang pemerintah terus naik. Kedua, kemampuan pemerintah dalam menghasilkan penerimaan negara, baik pajak maupun nopajak, untuk membayar kembali utang justru kian melemah. Maknanya, kemampuan fiskal untuk mengurangi beban utang sesungguhnya rendah. Sayangnya, pemerintah jarang sekali mengumumkan rasio utang terhadap penerimaan negara, tapi justru cenderung menutupinya.

Sebagai Menkeu yang doktor ekonomi, mustahil Sri tidak tahu dan tidak paham perkara dasar ini. Tapi, mazhab neolib yang digenggamnya melarang dia lari dari school of thinking-nya. Itulah sebabnya, tiap kebijakan yang dilahirkannya selalu saja berkiblat pada kepentingan dan garis neolib.

Tolong tunjukkan, selama dua kali menjadi Menkeu (di era SBY dan Jokowi sekarang), adakah kebijakannya yang menggenjot pertumbuhan, mendorong investasi, mendongkrak ekspor, membuka lapangan kerja, meningkatkan daya beli/konsumsi publik, dan akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat? Ada?

Pada konteks jebloknya penerimaan pajak, sepertinya dengan gampang kita bisa tebak apa yang bakal dilakukannya. Pertama, makin galak memalak pajak rakyat. Kedua, membuat utang baru lagi dan lagi. (*)

 

dedenew483

Jakarta, 10 Oktober 2017

Oleh : Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Gambar Patsus Dede Sherman

Share.

42 Komentar

  1. Copas
    DONGENG INFRASTRUKTUR

    Seorang buruh pabrik dengan gaji Rp5 juta/bulan nekat kredit mobil Avaanaza dengan cicilan Rp4,5 juta/bulan. “Uangnya ada, tinggal kita mau kerja atau tidak, Mak,” ujarnya, kepada isterinya. “Lagi pula asset kita kan banyak.”

    Tapi ia lupa, di satu sisi kredit mobil itu akan menggerus hampir semua penghasilannya, sementara di sisi lain ia masih punya kebutuhan-kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi. Buntutnya, ia terpaksa harus memangkas uang dapur, uang listrik, uang jajan anaknya, dan uang kiriman untuk orang tua di kampung.

    Saat ditegur rekannya, ia selalu berdalih, “Ndak apa-apa, asset saya di kampung masih lebih besar dari utang saya kok!”

    Begitulah.

    Sesudah beberapa bulan mencicil, kios kecilnya yang semula digunakan untuk jual sembako di samping rumah, juga terpaksa disewakan karena ia mulai kehabisan modal. Uang sewanya digunakan untuk menutup kebutuhan rumah tangga yang terus bertambah. Guna menomboki kekurangan, ia juga masih harus berutang kiri-kanan. Bahkan, karena miskin perhitungan, ia juga mulai mewacanakan untuk melego asset-nya yang ada di kampung.

    Di atas kertas ia memang punya mobil, penghasilannya juga cukup besar, tapi secara riil kehidupannya kini serba terjepit.

    Akhirnya, selang beberapa bulan, mobil kreditannya itupun kemudian disharingkan ke tetangganya, seorang sopir taksi online. Untuk sekuritisasi asset, dalihnya. Jadi, ia kini memiliki mobil, menanggung semua kewajiban atas mobil itu, tapi tak lagi sepenuhnya menikmati kepemilikan dan hasil atas mobil itu.

    Beberapa tahun kemudian, saat bisa melunasi mobilnya, dia tak lagi punya asset produktif. Gajinya habis untuk cicilan mobil, dan penghasilan lainnya habis untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil sharing taksi online pun hanya cukup untuk biaya perawatan mobilnya, sementara sisanya tak banyak. Di sisi lain, utangnya sama sekali tidak pernah berkurang.

    Oya, itupun kalau ia sempat melunasi cicilan mobilnya ding. Bagaimana jika ia ketemu force majeur, seperti krisis di tengah jalan, misalnya?! Apa pula yang terjadi jika ia sampai dirumahkan oleh pabriknya sebelum cicilannya lunas?! Apa yang akan terjadi pada dia, atau keluarganya?!

    Tapi Pak Buruh tak pernah mempertimbangkan itu. Pokoknya ia ingin punya Avaanaza yang bisa berlari cepat. Titik.

    Kekhawatiran mungkin tak perlu muncul seandainya yang dikredit oleh Pak Buruh adalah mobil niaga yang bisa digunakan oleh isterinya untuk mempermudah dan bahkan mengembangkan bisnis ecerannya. Lagi pula, mengukur penghasilannya, ia sebenarnya tak harus memaksakan diri memiliki mobil baru saat itu juga. Ia bisa mencicil mobil niaga bekas dan membesarkan usahanya terlebih dahulu.

    Begitulah dongeng tentang pembangunan infrastruktur, eh, dongeng tentang Pak Buruh yang ingin punya Avaanaza.

    • Pengamat Dadakan on

      Pas benar dgn artikel yg ane baca di eramuslim.com tentang sosok SMI … negaraku sedang dalam bahaya besar sekali tampaknya…. hutang yg besar akan jd bom waktu pemerintahan akan datang…entahlah….saya cuma bisa elus dada….
      Yang aneh gaji pegawai pajak naik …kok malah pemasukan pajak menurun ada apa ya ?

  2. Wkwkwk.. ga hukum g pajak, semua nya makin ambyar.
    Klo lagi senang, mau nya sama yg diatas. Giliran susah manfaatin yg dibawah.

    Klo g ada pertobatan, bukan revolusi yg terjadi, tapi Penghukuman..

  3. Bung naga, maaf nukilannya mirip cerita saya,…hehehe…dalam skup kecil dan besar…

    Ampun bung @ naga samudra…
    Tetap semangat…

  4. pemburu rajawali on

    Defisit anggaran apbn harusnya maksimal 1% lbh dari itu ya Alarm Tempur sdh menyala..

    Jika Utang di pakai utk hal produktif masih bagus tp tentu dg bunga yg rendah,jgn pula mengulang “Rayuan” calo IMF jg WB lagi seperti 1996.

    Jika sang Administratur punya Nyali maka cukup lah buka File Dosa Di BPK jg KPK maka itu sdh cukup utk menutup defisit APBN. Tentu ada resikonya yakni Benturan antar Elite pendukung Sang Pengemplang. Jd terserah sang Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, mau Gunakan cara Dueterte atau Calo..klo Calo y jgn harap 2019 di lirik heheheh..

    #Alarm Tempur Bahaya Ekonomi..
    IMF dan WB sdh siapkan kamar ICCU buat sang Garuda…hmmmm.

  5. Sri Mulyani yang Memulai, Mampukah Dia Mengakhiri?

    Jakarta – Setelah ditunjuk oleh Presiden SBY sebagai Menteri Keuangan pada 2005, Sri Mulyani Indrawati membentuk sebuah direktorat jenderal untuk mengelola utang negara. Sebelumnya urusan utang negara hanya dikelola oleh unit eselon II di Direktorat Jenderal Anggaran. Menteri Keuangan para pendahulu Sri Mulyani selalu berpikir bahwa urusan utang negara cukup ditangani oleh sebuah direktorat (unit eselon II) sebab beliau-beliau itu mengacu kepada GBHN (Garis Besar Haluan Negara) bahwa utang negara hanya bersifat pelengkap dan sementara, sehingga cukup ditangani di tingkat direktorat.

    Implikasinya negara hanya berutang pada lembaga-lembaga multilateral seperti The World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB), dan bilateral kepada negara-negara tertentu terutama Jepang. Para kreditur untuk Indonesia itu dikoordinasikan oleh WB dengan nama IGGI yang kemudian berganti dengan nama CGI.

    Selama pemerintahan Orde Baru di bawah Pak Harto dan beberapa tahun setelahnya, pemerintah masih tetap teguh pada policy yang hanya mengenal utang yang bersifat konservatif dari lembaga multilateral dan bilateral yang tergabung dalam IGGI/CGI. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, utang atau pinjaman luar negeri ini dikenal atau disebut dengan nama samaran Penerimaan Pembangunan.

    

    Utang luar negeri dari IGGI/CGI itu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut: (1) berjangka panjang dan lunak, (2) digunakan tidak untuk anggaran rutin tetapi untuk pembangunan yaitu pinjaman untuk proyek-proyek yang sudah disepakati bersama antara kreditur dan debitur (pemerintah Indonesia) dan ada porsi yang harus ditanggung APBN (matching fund). Hanya bagian kecil saja dari pinjaman luar negeri tersebut yang dapat digunakan untuk program (sendiri) pemerintah (pinjamana tunai).

    Selain itu, (3) jumlah pinjaman (utang) luar negeri itu terbatas sehingga saldonya per- 1 Juli 2017 hanya Rp 721T sudah terhitung dari rezim Orla/Orba sampai dengan sekarang, (4) pinjaman luar negeri ini tidak dalam bentuk Surat Berharga Negara (Surat Utang Negara) sehingga tidak dapat diperdagangkan atau diperjualbelikan di pasar, yang sewaktu-waktu dapat menggoyahkan pasar dan kurs rupiah terhadap valas; dan (5) pinjaman luar negeri jenis IGGI/CGI ini tidak bisa digunakan untuk anggaran rutin atau membayar bunga utang ataupun pokok utang yang jatuh tempo karena penggunaannya sudah ditentukan sebelumnya.

    Oleh karena utang luar negeri yang konservatif itulah ketika Indonesia mengalami krisis moneter (krismon) 1997/1998 pemerintah belum mempunyai utang dalam bentuk SBN, melainkan hanya pinjaman luar negeri yang terbatas dan terkendali. Sehingga, keuangan negara saat krismon masih aman terkendali. Saat krismon yang bermasalah atau yang terkena krisis adalah utang pihak swasta dalam valuta asing yang terlalu besar dan tidak prudent yang tidak terkontrol oleh pemerintah.

    Kesalahan besar pemerintah saat itu (setelah Presiden Soeharto langser) adalah mengambil alih utang pihak swasta itu khususnya perbankan dan pengusaha besar. Atas saran (konspirasi?) IMF, pemerintah Indonesia telah menempatkan dirinya menjadi keranjang sampah kecerobohan swasta yang tidak bertanggung jawab itu.

    Para Menteri Keuangan pendahulu Sri Mulyani selalu berhati-hati dalam menarik utang karena selain mengacu pada amanat GBHN juga mempertimbangkan bahwa negara belum siap untuk bermain dengan SUN (Surat Utang Negara) ala negara maju. Para Menkeu terdahulu begitu berhati-hati menghindari utang model SBN karena khawatir tidak terkendali dan menimbulkan moral hazard, yaitu asyik menikmati penggunaan dana pinjaman tadi sementara pengembaliannya akan menjadi beban pemerintah yang akan datang seperti yang terjadi di Yunani.

    Tetapi sejak Sri Mulyani jilid I (2005) mendirikan Ditjen Pengelolaan Utang dan memperkenalkan SBN baik dalam mata uang asing (valas) maupun rupiah, utang negara dalam bentuk SBN melesat dan seakan-akan tidak terkendali, sehingga saldo SBN per 1 Juli 2017 adalah Rp 2979,5 atau 4,13 kali-nya pinjaman luar negeri jenis multilateral/bilateral yang hanya Rp 712 triliun. Hampir dapat dipastikan angka perbandingan tersebut akan terus menaik tajam karena utang SBN yang terus meningkat tajam, sementara utang luar negeri multilateral/bilateral relatif stagnan.

    Tegasnya, hanya dalam waktu 10 tahun (sejak Sri Mulyani jilid I/SBY sampai dengan Sri Mulyani Jilid II/Jokowi), utang SBN telah mendekati Rp 3000 triliun (sekarang telah melampaui) sementara pinjaman luar negeri yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad hanya bersaldo Rp 721 triliun. Benarkah kenaikan SBN yang pesat ini karena untuk proyek pembangunan? Perlu kajian yang mendalam untuk menelusuri penggunaan SBN, tetapi rasanya proyek pembangunan lebih terasa selama pemerintahan Orde Baru yang justru belum mengenal SBN.

    Seandainya, sekali lagi hanya seandainya, pemerintah tetap saja berpegang teguh pada prinsip bahwa utang hanyalah pelengkap dan bersifat sementara, maka utang negara sekarang ini hanya Rp 721 triliun yaitu pinjaman luar negeri yang tidak terlalu berpotensi untuk dijadikan ajang spekulasi ekonomi maupun politik dibandingkan dengan SBN yang dapat diperdagangkan di pasar.

    Sementara itu, utang melalui SBN yang terus melesat dan mulai mengkhawatirkan itu juga kurang jelas manfaatnya atau wujud projeknya, karena diduga kuat sebagian digunakan untuk pembiayaan rutin dan bunga utang seperti tercermin dalam APBN dengan defisit keseimbangan primer.

    Sekitar 40% dari Surat Utang Negara (sUN) dipegang oleh investor asing. Sejauh ini mereka menyukai SUN karena memberi imbalan bunga yang tertinggi di pasar Asia. Meski demikian menurut hemat kami, dengan melihat pendapatan negara dari perpajakan yang seret dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, cepat atau lambat investor pemegang SUN tentu akan was-was pada kemampuan negara memenuhi kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang.

    Dalam RAPBN 2018 maupun yang sedang direvisi (dalam pembahasan di Banggar DPR), pada prinsipnya +/- 40% dari pendapatan perpajakan akan terserap untuk pembayaran utang dan bunganya, sehingga hanya tersisa 60% untuk anggaran rutin dan belanja modal. Cukupkah? Tentu saja tidak, dan karena itu pemerintah akan menerbitkan SUN baru yang lebih besar lagi sehingga saldo utang terus bertambah.

    Persoalannya bukan pada rasio utang negara terhadap PDB yang masih di bawah 30% tetapi pada kemampuan (ketimpangan) pendapatan negara untuk menopang kewajibannya atas utang itu. Ketimpangan tersebut dapat dilihat dari tingkat kenaikan pendapatan negara yang jauh lebih kecil dari tingkat kenaikan utang negara. Situasi APBN yang lebih besar pasak daripada tiang ini sebenarnya masih dapat dipahami mengingat negara-negara lain juga mengalami anggaran defisit. Yang menjadi persoalan adalah pasak (belanja) terus membesar sementara tiangnya (pendapatan negara) relatif mengecil dibandingkan pasaknya sehingga dikhawatirkan sewaktu-waktu ambruk atau sekurang-kurangnya goyah.

    Upaya Sri Mulyani membesarkan tiang APBN (pendapatan negara) nampaknya mengalami kesulitan mengingat ekonomi yang sedang lesu. Di lain pihak “terobosan” paket-paket kebijakan ekonomi yang sudah mencapai 16 paket belum terasa dampaknya terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi. The packages are going nowhere, alias masih “nyampah”. Sementara itu terobosan-terobosan yang langsung untuk menaikkan pendapatan negara belum tampak. Sedangkan untuk mengecilkan pasak (belanja) APBN juga tidak mudah mengingat para pengguna (penikmat?) anggaran tidak rela menekan kenikmatan anggaran yang sudah biasa dinikmatinya.

    Menghadapi benturan-benturan tersebut nampaknya Menkeu sebagai penjaga keuangan negara mengambil jalan pintas yaitu menambal APBN dengan utang baru tanpa (maaf) sungguh-sungguh memikirkan konsekuensinya ke depan. Pemerintah, dalam hal ini Menkeu, selalu melihat tersedianya barrowing capacity mengingat rasio utang yang masih di bawah 60% PDB. Nampaknya ada kecenderungan Indonesia akan terjebak pada krisis utang bila pemerintah khususnya Menkeu tetap menjalankan businessas usual.

    Borrowing capacity yang ada itu sebenarnya karena asas legalitas (UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara) yang membolehkan utang negara sepanjang tidak melampaui 60% PDB dan defisit APBN tidak melampau 3% PDB. Dan, nampaknya asas legalitas inilah yang sedang dieksploitasi habis-habisan oleh pemerintah sekarang ini, yang konsekuensinya akan ditanggung oleh pemerintah masa yang akan datang yang berpotensi menderita krisis utang seperti yang terjadi di Yunani. Sekali lagi alasan-alasan itulah yang selalu menjadi pertimbangan lain para pendahulu Sri Mulyani untuk menghindari bermain di pasar bebas utang, yaitu pemerintah yang belum siap.

    Sebenarnya jika saja utang SBN tersebut berjangka lebih panjang dan berbunga kompetitif serta seluruhnya digunakan untuk projek pembangunan baru yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan jumlahnya selalu terukur dalam rasionya terhadap pendapatan negara, tidak akan mengkhawatirkan berpotensi menjelma menjadi debt trap seperti bayang-bayang sekarang ini. Sayangnya Sri Mulyani yang begitu progresif dalam terobosan-terobosan baru penarikan utang negara ala SBN justru konservatif dan miskin dalam terobosan untuk meningkatkan pendapatan negara maupun dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

    Fuad Bawazier mantan Menteri Keuangan

  6. Jadi next leader bakal lebih berat ya ( mungkin nggak ada yg mau ya … takut mumet ) terus anak cucu rakyat jelata jadi nggak jelas ya kedepannya karena beban utang ? bagaimana ini apa ada solusinya ? ini negara loh milik rakyat indonesia! bukan milik satu atau beberapa inividu ! edisi “piye iki dul” or “coro mumet”

  7. 1300t/tahun potensi pemasukan dr migrasi tv analog ke digital, jauh dibanding pndapatan tax amnesty yg hebohnya doang, knapa msh blm diberlakukan? Masa kalah sama TVRI tuh tv2 kampret, Jiper ditekan cukong2? miris lg yg kls bawah yg punya kndaraan roda 2 utk cari nafkah malah diuber2 kek maling buat kejar target pajak 500t smpe TA berakhir, giliran cukong2 malah dpt tax amnesty

  8. sebagai bagian dari kemenkeu..walau hanya sebagai “keset” di kantor, dan dari cerita rekan2..tau betul bgmn susahnya ngumpulin pajak. betapa mereka itu powernya kecil sekali, kalah dgn warga “bangsawan”, bahkan kalah dgn bekingan para bangsawan, bahkan kalah dgn kepentingan politik.
    mnrt saya…penguasa tdk serius menjadikan pajak sbg ujung tombak penerimaan negara. bisa di bayangkan jika penguasa serius….betapa byk kelas bangsawan yg bisa “dibabat”..yg tdk sedikiy da

  9. pemburu rajawali on

    Ini lah 1 dari 1000 masalah yg akan timbul jika salah dlm memilih,menempatkan dan memberi amanah. Sdh belajar kah anak2 negri ini dari sejarah? Ternyata 20% sdh belajar baik sdg sisanya msh dibuai kenikmatan semu hasil mimpi 2014.
    Jadi bersabarlah krn 2019 msh jauh dan minggu ke 3 oktober akan muncul kejutan-kejutan lainnya!

    Selamat datang DKI 1 selamat menikmati suguhan menu yg tersedia, dan selamat tersandra di Reklamasi..

    #eaalllaaah.

      • TNI politik negara, nkri goyah tni ambil alih, goyah karena hutang, penjual aset ke asing, masyarakat yg terbelah, grand design penguasa untuk otoriter..

  10. terus kalo kalo sdh begini apa nantinya aset aset penting bakal tersandera juga.?…apa ini sdh disetting kalangan tertentu untuk menyandera republik ini.?memang nagara ini susah di kuasai secara militer dan patriotismenya …tp mudah dihancurkan lewat ekonomi itu sdh cerita dan sejarah dari masa lampau.

  11. Ehm….semprul cuma bisa melihat dan mengeram nahan emosi…
    #bung@PR mbok ya vacum cleaner pesenan ane diresmikan biar enak ane klu mau bersih2 yg kotor….
    #wes lah ane pamit dlu bnyak job soalny…hehehe

  12. Menarik sekali ulasan diatas. Target pajak memang setengah-tengah krn memang kurang inovatif baik dari awal perencanaan smp ke eksekusi. Ditengah daya beli yg menyusut akibat berbagai subsidi dicabut praktis penerimaan pajak akan turun krn sebagian besar penerimaan pajak kita berasal dari konsumsi atau ppn. Subyek pajak yg dikejar jg kelas teri shg lebih besar pengeluaran cost utk sdm nya dibandingkan penerimaannya. Padahal banyak kelas kakap dan cukong yg begitu apiknya menyembunyikan assetnya yg tdk tersentuh pajak. Jadi menurut saya target pajak spt angin berlalu saja, berkoar-koar ke rakyat kecil tp utk kelas borjuis tak bernyali apalagi utk para pengemplang BLBI.

    Arah pembangunan jg tdk jelas krn yg dibangun adlh yg tdk produktif bahkan sempat santer ada pembangunan pelabuhan tp setelah diresmikan tdk terpakai sama sekali krn dibangun di daerah yg sepi. Seharusnya pembangunan ditujukan utk mendukung sektor riil yg lbh produktif utk menurunkan inefisiensi sektor logistik.

    Jika yg dikejar adlh rakyat kecil sungguh malang nasibnya krn disatu sisi subsidinya sdh dicabut disisi lain pajak ditingkatkan sedangkan para borjuis bisa melenggang2 bepergian ke luar negeri. Hasilnya jg sgt minim.

    Utang hrs dikontrol utk membiayai yg produktif. Pemotongan anggaran jelas kurang inovatif disaat daya beli sedang meroket ke jurang. Penjualan asset termasuk penjualan bumn utk menutupi utang jelas kurang inovatif lagi. Bu sri sbg ekonom seharusnya bisa ditingkatkan lg wawasannya bahwa masih ada sumber cash in lainnya selain utang. Investasi dan ekspor adlh pilihan yg cerdas. Utk menyelamatkan industri kita dari daya beli yg merosot di dlm negeri jalan satu2nya adlh ekspor kalau tdk stock akan menumpuk dan mungkin akan gulung tikar. Contohlah cina yg bisa mengekspor berbagai macam barang dari yg kecil smp yg besar ke luar negeri.

  13. Boleh tanya ? Apa setiap matra itu punya squadron VVIP sendiri, (TNI AL baru mendapat pesawat vvip baru).
    Kenapa tidak diserahkan ke Mabes TNI atau MoD saja… Hemat anggaran….

  14. pemburu rajawali on

    @beny in time you will be call in
    @defcon dari tahun 60an sdh ada kok SQ VVIP dari 3 matra,bahkan polri pun punya.

  15. Bung pr mau tanya apkh ada formula untk menghntikn reklamasi jkt,,dan apkh senjta 5ewu itu buat MEcin miltr yg dah mnyamr wna

  16. pemburu rajawali on

    @peter hehehe.. Hanya mirip saja kn!
    @aseng liat lagi regulasi UU yg bersangkut paut dg projek tsb dan yg paling utama adalah apakah itu akan membawa kebaikan,kemashlahatan bagi byk orang / sekelompok orang saja?. Jgn hanya fokus pd Reklamasi yg pasti berbau bisnis tp jg hrs lihat pula kepentingan strategis pertahanan,keamanan jg potensi ancaman musuh jika projek tsb hrs di paksa berjalan. Berapa keuntungan negara? Sebandingkah dg kerugian yg di terima? Di lingkup projek tsb TNI AL lah yg paling kena sial nya krn seluruh aktifitas mrk terekspos secara telanjang. Wong cukup dari lantai 8 sj sdh bsa intip para HIU xixixixi.

    Apalagi sekarang “Pulau Sampah” sdh tdk terkendalo lg di muara jakarta yg konon lebarnya hampir 10km. Itu jg hrs jd perhatian semua pihak.

    • Saya meragukan seorang ahli civil hydro engineering mengeluarkan rekomendasi pencegahan banjir jakarta dengan pembangunan pulau2 buatan di teluk jakarta. Bukan hanya menghambat laluan air dari sungai2 di jakarta tp juga menambah sedimen dasar laut. Krn pulau tsb akan berpenghuni sehingga mengeluarkan limbah cair yg akan membebani dasar laut teluk jakarta.
      Dampaknya fasiltas air pendingin mesin pltg muara karang tidak akan menyedot air tapi juga lumpur. Lama2 pltg tsb akan ditukar guling menjadi mall atau perumahan mewah.
      Seharusnya dibangun dam besar di hulu sungai atau sodetan utk dialurkan ke danau buatan sebagai penampung air limpahan dari sungai saat hujan lebat. Sehingga walaupun air laut pasang, air limpahan sungai tdk balik membanjiri bantaran sungai

  17. hmmm,,,penerimaann pajak tidak sampe target..
    ane sih awam,bila penerimaan target tdk tercapai, maka idealnya adalah perbaikan dalam pengumpulan pajak..perkuat lagi lembaga pajak, perkuat lagi uu perpajakan,bukan dengan spirit menghilangkan pajak..
    kalau untuk kas negara, mungkin menurut ane..harus dipetakan kembali / mapping economics forecast, kita indonesia mau jualan apa..buat income negara ini..
    menurut ane yang terakhir, selama kita tertinggal dalam ilmu/science dan teknologi, maka selama itu pula ekonomi bangsa ini akan di dikte oleh pihak luar..

  18. Nyimak aja wes sambil ngafalin lagu “IBU PERTIWI”.
    Kulihat ibu pertiwi
    Sedang bersusah hati
    Air matamu berlinang
    Mas intanmu terkenang

    Hutan gunung sawah lautan
    Simpanan kekayaan
    Kini ibu sedang susah
    Merintih dan berdoa

    Kulihat ibu pertiwi
    Kami datang berbakti
    Lihatlah putra-putrimu
    Menggembirakan ibu

    Ibu kami tetap cinta
    Putramu yang setia
    Menjaga harta pusaka
    Untuk nusa dan bangsa

  19. Bumn yg diharapkan utk pendapatan, nggak dimaksimalkan, malah mau dijual, sda yg seharusnya diolah dibudidayakan oleh bumn malah diberikan ke asing-seng gratis. Obral pulau.

  20. Bung PR mau nanya dong di skitaran jogja kok ada suara sperti sonic boom ya ada apakah gerangan? Hehehe smpe warga2 pd kluar

  21. Sudah – sudah…..,jual saja semua yang ada di negri ini, kan negri ini bukan milik kita, yg moyangnya berperang dg para kolonialis, yg akhirnya berhasil .
    Tapi,tetap bukan milik anak cucunya…..
    Karena memang tidak punya hak untuk mengisi kemerdekaan.
    Karena yg berhak itu yang licik, bukan yg jujur…..

Reply To tapol Cancel Reply