Ancaman Basis Pertahanan Udara RI

19

PENINGKATAN SARANA DAN PRASARANA SERTA FASILITAS BANDARA LEBIH RELEVAN

dedenew230

Menanggapi berita utama harian umum ini (Radar Malang) yang mengulas tentang adanya rencana mengembangkan Bandara Abdulrachman Saleh menjadi Bandara Internasional, dijelaskan pula beberapa point penting tentang hal-hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan Bandara Abd Saleh agar dapat menjadi Bandara Internasional,
Lanud Abdulrachman Saleh tidak terlalu ambil pusing mengenai kebijakan apa yang nantinya akan disepakati antara kementerian perhubungan dengan pimpinan TNI AU namun Lanud Abd Saleh lebih cendrung berpendapat untuk waktu ke depan peningkatan pelayanan serta peningkatan sarana dan prasarana dan fasilitas pendukung bandara yang seharusnya dipikirkan ketimbang membahas wacana pengembangan menjadi Bandara Internasional.

Pada perkembangannya keberadaan bandara Abdulrachman Saleh yang berada di wilayah Lanud Abdulrachman Saleh merupakan berawal dari keinginan warga Malang dan sekitarnya agar pesawat komersil bisa mendarat di Abdulrachman Saleh Berawal dari keinginan masyarakat wilayah Malang dan sekitarnya tersebut, Pemerintah Daerah provinsi menindak lanjuti keinginan tersebut kepada dirjen hubud kemenhub. TNI AU sebagai salah satu komponen pertahanan negara yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengoperasikan Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh dengan pemikiran yang sama demi kepentingan masyarakat wilayah kota malang serta guna memajukan perekonomian daerah menyetujui hasrat dan keinginan warga wilayah malang agar di Abdulrachman Saleh dapat dioperasikan sebuah Bandara, tentunya setelah melalui kajian dan pertimbangan yang mendalam ,karena hal ini akan berkaitan dengan kegiatan operasi penerbangan pesawat militer yang sudah sejak lama berada di Lanud Abdulracman Saleh.

Tentunya para pemimpin pendahulu kita (TNI AU) juga telah berdasarkan pemikiran, kajian dan pertimbangan yang strategis mengapa pesawat hercules C-130 berada dan tergelar di Skadron Udara 32 Abd Saleh serta Skadron Udara 21 yang merupakan home base pesawat tempur Super Tucano.

Berlatar dari sejarah diatas, bahwa keberadaan bandara Abdulrachman Saleh merupakan enclave civil dengan pemahaman umum mempunyai pengertian , dipergunakannya sebagian wilayah pangkalan udara milik angkatan bersenjata (militer) untuk operasional pesawat sipil yang umum dinegara-negara dialokasikan untuk lalu lintas udara domestik.
Pada bandara enclave civil negara lain memiliki pembatasan jam dimana pesawat sipil harus menyesuaikan dalam melakukan operasi penerbangan. Kontrol lalu lintas udara di enclave civil biasanya dipercayakan kepada angkatan bersenjata.

Adanya wacana pengembangan Bandara Abdulrachman Saleh menjadi bandara internasional menurut penulis pada hakekatnya hanya mempertimbangan aspek komersil dan pembangunan secara sektoral atau lokal saja dimana kebutuhan moda transportasi udara yang meningkat serta untuk mendongkrak perekonomian daerah saja , tanpa memikirkan dan mempertimbangkan aspek yang lebih strategis yaitu aspek militer dan pertahanan negara.
Aspek strategis.yang semestinya dipikirkan oleh para pemangku kepentingan di daerah adalah apabila enclave civil diperbesar dan dikendalikan oleh otoritas sipil secara penuh. Maka akan menimbulkan ancaman serta peluang dari sisi kekuatan,kemampuan, serta kerawanan.
Dengan semakin bertambahnya slot penerbangan sipil di Abdulrachman Saleh , maka jam untuk militer semakin berkurang , apabila waktu training bagi crew pesawat militer berkurang maka akan menurunkan kemampuan para penerbang militer. Kerawanan adalah sebuah kelemahan yang apabila di eksploitir oleh lawan akan menyebabkan kelumpuhan permanen yang pada akhirnya dapat mengancam pertahanan negara.

Disamping itu keberadaan Skadron Tempur yang ada di Lanud Abdulrachman Saleh sama sekali tidak menjadi pertimbangan, khususnya untuk operasional pesawat tersebut yang pada situasi dan kondisi tertentu dilengkapi oleh persenjataan dan bom.
Mungkin bagi bebarapa pihak menilai bahwa sudut pandang tersebut terlalu jauh, namun apakah aspek stategis tersebut sudah dipertimbangkan?

Marilah kita secara bersama-sama memiliki keikhlasan dan kerelaan untuk bersama-sama membangun bangsa ini dengan saling mendukung tugas dan tanggung jawab dari masing-masing, Jangan sampai kita menyesal dikemudian hari dikarenakan kurangnya perencanaan dan pertimbangan yang benar-benar mendalam. Alangkah lebih baik meningkatkan pelayanan serta fasilitas bandara yang ada saat ini bagi kenyamanan dan keamanan para penumpang saat ini dibanding “meloncat jauh” dengan melempar wacana menjadikan bandara Abdulrachman Saleh menjadi bandara internasional.

Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim pernah mempertanyakan penggunaan beberapa pangkalan udara militer di Indonesia untuk kepentingan penerbangan sipil dan komersial, karena dikhawatirkan akan merugikan kedua belah pihak.

“Tidak ada yang aneh sebenarnya digunakan untuk penerbangan komersial, namun seharusnya dipersiapkan dengan baik sehingga tidak ada yang dirugikan,” Mantan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) itu mengatakan, semua Landasan Udara (Lanud) Militer tidak didesain untuk penerbangan komersial, dan apabila diberikan untuk kepentingan komersial, maka hanya bersifat sementara.
Menurut beliau , karena penggunaan lanud bersifat sementara, maka harus ada solusi dalam makna melayani publik.
“Misalnya, di Halim Perdanakusumah dalam setahun ada empat kali latihan militer, dan sekali latihan waktunya empat hingga lima hari,” ujarnya.
Dia memberikan catatan khusus, misalnya Lanud Adi Sutjipto yang merupakan pangkalan utama (home base) pesawat latih TNI AU dan Latihan Akademi Angkatan Udara , namun digunakan pula untuk kepentingan komersial.

Pak Chappy memahami saat ini pertumbuhan penumpang di penerbangan komersial nasional meningkat, namun penggunaan lanud bukan menjadi solusi untuk mengatasi hal itu.
“Tidak ada solusi komprehensif yang tuntas karena pertumbuhan penumpang berlangsung gradual sehingga bisa diprediksi dan dipersiapkan jauh hari,” katanya. beliau menjelaskan bahwa saat ini hal yang menyedihkan adalah penyelenggaraan penerbangan sipil ketika dihadapkan pertumbuhan penumpang, ternyata tidak ditanggapi secara baik.

Oleh karena itu, beliau menambahkan, ketika penerbangan mengalami penundaan terbang selama delapan hingga 10 jam, maka solusinya memindahkan ke Lanud tanpa dilakukan evaluasi mengapa hal itu terjadi.

Masalah lain yang disorot oleh pak Chappy Hakim adalah penggantian penjagaan di Bandara Soekarno Hatta, dari Paskhas TNI AU menjadi Marinir TNI AL. Padahal secara fungsi Paskhas TNI AU adalah satuan berkualifikasi lebih tepat untuk menjaga bandara.

Kedua, alih fungsi Bandara Halim Perdanakusuma menjadi bandara komersial. Padahal bandara Halim adalah pangkalan udara strategis TNI AU. Di sana ada skadron angkut VIP dan kerap dijadikan markas jet tempur bagi pesawat yang melaksanakan pengawalan ibu kota. Saat ini dengan perubahan menjadi bandara komersial, tentu tugas TNI AU tergangu.

Selain itu, Bandara Halim Perdanakusuma berperanan penting sebagai basis pengiriman logistik bila terjadi bencana alam besar seperti saat kejadian tragedi tsunami pada Desember 2004 lalu.
beliau juga mengingatkan bahwa di setiap negara umumnya selalu memiliki “exit airport” yang dapat digunakan sewaktu-waktu ketika terjadi kekacauan nasional, dalam hal ini Halim cocok untuk itu.
“Halim juga subsistem dari alat utama sistem kesenjataan dan menjadi bagian ‘homebase national defense system’,” ucapnya.

Pak Chappy juga mengungkapkan, di Halim tidak memiliki akses jalan yang bagus serta tidak ada lapangan parkir yang memadai untuk kendaraan pribadi.
Sedangkan di dalam infrastruktur penerbangannya sendiri, Halim kurang memadai dalam hal apron (tempat parkir pesawat) dan hanya memiliki “runway” (lintasan pesawat) tunggal, berbeda dengan Soekarno-Hatta yang memiliki dua “runway”.

“Sangat berbeda bandara yang didesain untuk komersial dan untuk keperluan militer,” tegasnya.
Beliau mengakui bahwa bandara seperti Changi di Singapura digabungkan antara militer dan komersial tetapi hal tersebut telah dipersiapkan dengan matang.

kecerobohan dalam upaya mengambil solusi untuk menyikapi pertumbuhan jumlah penumpang dan faktor atas nama perekonomian dan pembangunan , yang cenderung tanpa perhitungan sama sekali dan bahkan bersikap bahwa semua pangkalan militer ( Lanud Abdulrachman Saleh, Lanud Iswahyudi,  Lanud A. Yani, Lanudal Juanda, Lanud Halim dll) harus segera memberikan fasilitasnya untuk memfasilitasi dan menampung operasi penerbangan sipil yang sudah salah urus itu. Sebuah tindakan yang kurang terpuji dan sangat mengabaikan aspek “national security” dalam pengelolaan penerbangan nasional pada umumnya.

citoxnew105

Sejarah  Lanud Abdul Rachman Saleh

Bandar Udara Internasional Abdul Rachman Saleh adalah bandar udara yang terletak di Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, atau 17 km arah timur dari pusat Kota Malang. Kode ICAOnya WARA (dahulu WIAS) dan kode IATA MLG. Bandara Abdul Rachman Saleh merupakan tempat pesawat Hercules C-130 dan Super Tucano sebagai pengganti OV-10 Bronco yang telah di musiumkan. Selain itu Wing 2 Korps Pasukan Khas juga bermarkas di sini.

Bandara Abdul Rahman Saleh memiliki dua landasan pacu yang pertama untuk pesawat-pesawat kecil seperti Hercules C-130 dengan panjang 1.500 m, dan yang kedua untuk jenis pesawat besar seperti Boeing 737 dengan panjang 2.300 m. Pemerintah provinsi Jawa Timur melalui Dishub dan LLAJ mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan agar menambah panjang landasan pacu 700 meter lagi. “Dengan penambahan itu nantinya panjang landasan pacu di Bandara Abd. Saleh Malang menjadi 3.000 meter dan juga dobel landasan pacunya.” Dengan demikian, Bandara Abdul Rachman Saleh sangat berpotensi menjadi Bandara Internasional, sehingga pihak Kepala Dinas Perhubungan dan LLAJ Pemprov Jatim mengusulkan Kemenhub agar menambah panjang landasan pacu.

Nama bandara ini diambil dari salah satu pahlawan nasional Indonesia: Abdul Rahman Saleh, dan sebelum bernama Bandara Abdul Rachman Saleh, bandara ini bernama Lapangan Terbang Bugis.

Untuk penerbangan sipil melayani rute MalangJakarta dan rute MalangDenpasar Selain itu ada  rute MalangBalikpapan. Sebelumnya Bandara Abdul Rahman Saleh pada tahun 2007 sampai dengan 2008 pernah melayani tiga rute penerbangan sekaligus yaitu MalangJakarta, MalangBalikpapanTarakan, MalangMakassar, MalangSurabaya, Malang-Darwin, MalangBandung, MalangLombok dan MalangDenpasar. “BandaraAbdulrachman Saleh merupakan bandara yang unik karena merupakan satu-satunya bandara yang dikelola pemprov. Bandara lainnya dikelola PT Angkasa Pura

by Patga Biro Malang

citoxnew66

Menanti kemusnahan Halim sebagai Basis Pertahanan Udara RI

Pangkalan Udara Halim adalah sebuah pangkalan udara yang merupakan bagian atau sub sistem dari sistem pertahanan udara nasional yang tentu saja juga merupakan bagian integral dari sistem pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sistem pertahanan Negara termasuk didalamnya sub sub sistem pertahanan Negara, berada dalam wewenang operasi dari pejabat negara yang ditunjuk untuk itu. Dalam urusan Lanud Halim pejabat yang berwenang adalah Komandan Pangkalan Halim yang bertanggungjawab kepada Panglima Komando Operasi 1 (Koopsau 1) . Sementara itu Panglima Koopsau 1 secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Panglima TNI.

Patut diketahui bahwa Fungsi operasi dari Lanud Halim tidak bisa dirubah oleh siapa pun, kecuali atas persetujuan beberapa instansi pemerintah antara lain Mabes TNI,Kemhan,Kemdagri,Kemkeu dan Presiden & DPR.

Sejarah digunakannya Halim untuk Penerbangan Komersial

Halim pada dasarnya adalah sebuah pangkalan udara Angkatan Udara. Lanud Halim tidak didisain untuk keperluan operasi penerbangan komersial. “Basic design” dari Lanud Halim adalah murni untuk kepentingan atau keberadaan sebuah Angkatan Udara, dalam hal ini lebih kepada mendukung penerbangan latihan dan operasi pada konteks “combat readiness”

Pada tahun 1980-an, karena kepentingan nasional, yaitu dalam rangka usaha pemerintah memindahkan Pangkalan Udara Komersial Kemayoran yang sudah mulai penuh ke Cengkareng yang pembangunannya memakan waktu cukup lama, maka digunakanlah Lanud Halim untuk “sementara” sebagai pangkalan udara bagi penerbangan komersial. Hal ini tercantum antara lain dalam SKB 3 Menteri.

Setelah Cengkareng selesai maka pindahlah semua penerbangan komersial dari Halim ke Cengkareng. Bahkan penerbangan Haji yang tadinya sudah ditentukan untuk beroperasi di Halim saja, kala itu tidak berapa lama setelah pengoperasian Cengkareng juga dipindahkan ke Cengkareng. Pendeknya setelah tersedia Cengkareng tidak ada yang berminat lagi untuk menggunakan Halim, karena Cengkareng kondisinya memang jauh lebih baik. Beberapa penerbangan charter dan general aviation yang masih merasa nyaman, tetap berusaha tinggal di Halim . Ini menyebabkan Halim kelihatan “sepi” dalam traffic penerbangan sehari-hari. Angkasa Pura, karena merasa sudah menanamkan modal yang cukup besar dalam meningkatkan Halim dari hanya untuk keperluan militer menjadi berfungsi sebagai bandara komersial berstandar internasional juga tidak mau angkat kaki, karena walau hanya memperoleh untung sedikit bahkan “katanya” rugi, tetap merasa berhak dan sangat nyaman dalam mengelola dan menguasai Halim. Disisi lainnya, anggaran Angkatan Udara yang “sangat kecil” (karena keberadaannya memang dianggap tidak begitu penting) tidak mampu untuk dialokasikan bagi pemeliharaan banyak peralatan pendukung penerbangan agar Halim dapat tetap terjaga menjadi sebuah bandara bertaraf internasional. Hal tersebut “sangat-urgent” karena Halim ditetapkan status nya sebagai “alternative aerodrome”, bila sewaktu-waktu Cengkareng tidak bisa berfungsi. Maka jadilah pihak Angkasa Pura berlama-lama bercokol di Halim yang bersandar antara lain kepada SKB 3 Menteri pada saat Halim digunakan sebagai penyelenggara penerbangan komersial dalam menanti Cengkareng selesai proses pembangunannya.

Sementara itu, karena pengelolaan bandara Cengkareng yang sama sekali tidak memperhatikan laju pertumbuhan penumpang yang sampai 10 hingga 15 persen setahun, telah menyebabkan Cengkareng menjadi bandara yang kelebihan kapasitas dan berakibat fatal sehingga menghasilkan situasi chaos dengan delay penerbangan hingga 12 jam ! Itu sebabnya, dalam beberapa waktu sebelum Cengkareng menjadi tidak nyaman lagi kemudian penerbangan Haji pindah lagi ke Halim. Ini telah menunjukkan betapa rendah dan amburadulnya tingkat pengelola bandara bertaraf internasional di negeri tercinta ini. Tidak itu saja, banyak penerbangan yang kemudian ingin juga pindah atau menggunakan Halim (lagi) sebagai basis penerbangan komersial. Sampai pada titik kulminasinya adalah pemerintah “terpaksa” mengambil keputusan sebagai solusi jalan keluar dari kekacauan di Cengkareng dengan memindahkan begitu saja kelebihan penerbangan ke Halim. Sebabnya adalah, pada beberapa waktu sebelumnya mereka, sebagian yang ingin kembali ke Kemayoran sudah tidak bisa, karena Bandara Kemayoran, entah dengan alasan apa sudah dialih fungsikan menjadi pusat perdagangan. Agak aneh juga, karena Indonesia yang sedemikian luas, bukannya melebarkan pusat perdagangannya ketempat lain, tetapi malah mengubah Kemayoran dari sebuah bandara menjadi pusat perdagangan. Sebagai catatan kecil, Singapura yang luasnya tidak lebih besar dari Jabodetabek, tidak pernah berniat mengubah Bandara Paya Lebar misalnya setelah mereka memiliki Changi yang lebih luas dan megah itu. Kita, dengan luas yang ribuan kali Singapura malah mengalih fungsikan bandara Kemayoran dan lebih mengandalkan Halim untuk digunakan lagi sebagai bandara penerbangan komersial .

Dalam hal ini tidak ada pihak manapun yang mau memikirkan kepentingan Angkatan Udara disitu. Inilah yang juga menyebabkan banyak pihak “menginginkan” untuk berperan menjadi pengganti Angkasa Pura di Halim yaitu dapat mengelola Halim sebagai bandara komersial tanpa sama sekali tidak usah memikirkan atau terbebani atas kepentingan penerbangan latihan dan operasi Angkatan Udara di rumahnya sendiri yaitu Halim. Namun hal ini pada saat itu terganjal karena pihak swasta tidak diperkenankan oleh undang-undang untuk mengelola bandara. Jadilah Angkasa Pura sebagai penguasa tunggal, penikmat keuntungan dari keberadaan Lanud Halim tanpa sekali lagi merasa terbebani oleh keberadaan sang pemilik rumahnya sendiri yaitu Angkatan Udara.

Pada saat menjelang perjanjian Angkasa Pura di Halim selesai (setelah diperpanjang beberapa kali), maka berebutlah para pihak untuk coba menguasai Halim, termasuk dalam upaya menyelundupkan pasal-pasal dalam undang-undang penerbangan no 1 tahun 2009 agar pihak swasta dapat dibenarkan oleh undang-undang untuk mengelola sebuah bandara. Itu sebabnya setelah tahun 2009 lah, yaitu setelah keluarnya UU penerbangan nomor 1 tersebut, baru para pengintai keuntungan dari pihak swasta memperoleh ruang untuk dapat berupaya “masuk” ke Halim. Itulah sekelumit sejarah yang melatar belakangi mengapa Mahkamah Agung sampai turut serta mengeluarkan satu keputusan yang sangat “mengagetkan” banyak orang baru-baru ini.

Sebenarnya apa yang telah menjadi keputusan Mahkamah Agung, tidak ada urusannya sama sekali dengan “fungsi-operasi” dalam konteks pemegang kendali operasi sebuah pangkalan Udara termasuk atau terutama Lanud Halim. Lanud Halim, sekali lagi adalah sebuah sub sistem dari sistem pertahanan Udara nasional yang merupakan bagian yang sangat penting dari sistem pertahanan Negara. Jadi pemegang kendali operasi dari sebuah sub sistem pertahanan Negara akan selalu berada pada pejabat yang diberikan wewenang oleh Negara. Dalam hal Lanud Halim, maka yang berwenang adalah Panglima TNI yang dalam rentang kendalinya didelegasikan kepada Panglima Koopsau 1 dan di-lapangan dilaksanakan sehari-hari oleh Komandan Lanud Halim. Adalah sebuah kejadian yang “aneh bin ajaib” bila Lanud Halim sebagai salah satu sub sistem dari pertahanan Negara berada dibawah kendali Lion Air, Batik atau pihak swasta manapun. Inkopau bahkan Angkatan Udara sekalipun tidak dapat mengubah-ubah fungsi operasi dari Lanud Halim tanpa sebelumnya dapat memperoleh persetujuan dari Mabes TNI, Kementrian Pertahanan, Kementrian Keuangan, Presiden dan DPR.

musium6

Dengan demikian, maka sebenarnya, sangatlah logis bila kemudian banyak orang mempertanyakan belakangan ini setelah melihat Bandara Halim sudah dipenuhi oleh pesawat-pesawat terbang dari Lion Air dan Batik. Disisi lain terdengar “sayup-sayup” program pemerintah yang tengah berjalan untuk menambah armada pesawat angkut Strategis TNI AU untuk peningkatan kualitas unsur udara Angkatan Perang yang parallel dengan itu dapat digunakan sebagai tulang punggung dalam keadaan Negara menghadapi bencana, seperti bencana alam Tsunami, kabut asap dan lain-lain. Lalu akan ditempatkan dimana Skadron Angkut Strategis dan Taktis pesawat-pesawat AU itu, dan dimana pula mereka akan dapat berlatih terbang dan melaksanakan operasi serta menjalankan pemeliharaan pesawat-pesawatnya? Belum lagi bagaimana dengan pengamanan penerbangan Kepala Negara dan tamu Negara setingkat yang memerlukan “Securitiy Level” yang tinggi. Lalu bagaimana pula dengan pengamanan dari instalasi penting Radar Pertahanan Udara Nasional di Halim yang akan menjadi ramai dengan hiruk pikuknya penumpang penerbangan komersial. Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin runyam bila dihadapkan kepada kenyataan bahwa Halim itu hanya memiliki satu runway saja, tidak memiliki Taxi-way dan apron tempat parkir pesawat yang sangat sempit. Kesemua itu sampai dengan saat ini saja sudah terlihat jelas akan sangat mengundang terjadinya kecelakaan.

Dengan demikian, bila memang Halim akan dijadikan sebuah bandara yang juga dapat digunakan sebagai basis dari penerbangan komersial, maka yang harus dilakukan adalah mempersiapkan terlebih dahulu infrastruktur penunjang, agar dapat melayani penerbangan komersial sekaligus juga tidak mengganggu operasi dan latihan penerbangan Angkatan Udara disitu serta terselanggara sistem pengamanan yang ketat dan sarana pendukung keselamatan terbang. Disini memang menjadi tidak mudah dan sederhana , karena diperlukan pemahaman cerdas dan kesadaran yang jernih dalam konteks bernegara. Diperlukan wawasan kebangsaan dalam memahami kedaulatan dan kehormatan sebagai bangsa yang tidak semata melihat keuntungan finansial saja. Keuntungan materi yang hanya didorong oleh sikap dan nafsu serakah yang harus dimaklumi memang tidak mudah untuk dapat dikendalikan. Bila ini semua dibiarkan berlalu, maka kita semua sudah berada diambang penantian dari musnahnya Halim sebagai salah satu basis pertahanan negara Indonesia tercinta. Semoga Tuhan melindungi kita semua. Amin YRA.
by Marsekal TNI ( Purn ) Chappy Hakim

abs1

Dirangkum oleh  PATGA Biro Malang

sumber:  Resume dari Pentak Lanud Abdul Rachman Saleh dan Laksamana TNI (Purn) Chappy Hakim
Gambar by Google ,Patsus Citox dan Patsus Dede sherman

Share.

19 Komentar

  1. Bakulo Wajaro on

    Hehehhehehehe… Siapakah mereka yg karena keserakahannya tdk lagi memikIrkan kepentingan negara dalam melindungi ibukotanya..? siapakah mereka ini yg brrada dibelakang para pemilik modal yg krn keserakahannya bisa menghilangkan lanud sbg payung udara ibukota..? Tentunya mereka yg sgt berkuasa shg bisa membuat pimpinan TNI hanya mengelus dada melihat kerakusan dan ketamakan mereka… Xixixiixiixixixixixi..

    • sayang ya, katanya tni au hebat banyak bangun pangkalan di pulau atau daerah terpencil, tapi ex pangkalan radar di daerah cisalak cimanggis depok jawa barat, sekarang di jadikan tempat pasar cisalak sementara, dampaknya oknum aparat jadi beking parkiran motornya…..lah wong parkir dan pasarnya di dalam ex pangkalan radar……..mbok ya kasau cek langsung ke lapangan….sebelum merusak citra tni au….nanti disebut oknum……

  2. Tp klo gk salah baca di Majalah Lion Air edisi Desember 2015 yg ada di kantong depan kursi pesawat, ada salah 1 artikel yg isi dalamnya berbunyi kalau Rusdi Kirana itu salah satu Wantimpres
    Itu di bagian yg judulnya Rusdi Kirana dapet penghargaan apa gt dr pihak luar
    Sy jg kaget waktu baca
    Kalo emang bener dy Wantimpres ato yg sejenis itu bakal susah buat mengembalikan fungsi Lanud Halim jadi bener2 utk operasionall TNI AU aja
    Semoga aja Lanud Halim dan Lanud2 lainnya bisa kembali ke fungsi awalnya utk kepentingan National Security

  3. miris..sudah saatnya lanud halim dan lanud2 lainnya dikembalikan fungsinya jd lanud militer..klu mmg angkasa pura mau mengembangkan bisnisnya ya harus keluar modal..bangun bandara baru aja..

    • setuju bung, kayanya tni au sudah mengarah ke arah hub bisnis dgn pengusaha, dgn hadirnya setiap pelaku di lanud maupun di base tni au lainnya, tugas kasau harusnya untuk mengembalikan ke aura tni au yg seutuhnya…..semoga tni au tidak abal2 dalam managemen lanud2nya….SU 35 lewat keren euy…..bravo tni

  4. Lho..ya bangun aja kembali bandara sipil….ambil aja dari APBN…2-3 tahun jadi bandara baru khusus sipil…..tanah kosong masih luas….

    Jangan benturkan kepentingan kapitalis dgn kepentingan pertahanan udara NKRI.

    • …Begini maksud saya….biarkan lanud abdurrahman saleh hanya khusus kepentingan TNI-AU /militer….sementara itu segera minta alokasi dana infrastruktur unt membangun bandara sipil di sekitar Kepanjen (kabupaten malang)…disana masih luas lahan kosong kebanyakan sawah , jika kebutuhan lahan sekitar 1.000 Ha dapatlah disana untuk bandara sipil. Dgn tempo 2-3 tahun pasti jadi itu bandara dgn syarat semua pihak kompak bersama membangun bandara sipil di Kepanjen.
      Manfaat lain adl:
      1. Membawa dampak pertumbuhan ekonomi di malang , blitar , dan kediri
      2. Membuka potensi lapangan kerja
      3. Memberikan rasa aman kpd warga disekitarnya krn bandara adl obyek vital krnya akan dikawal oleh aparat keamanan dan aparat pertahanan
      4. Bisa menjadi support airfield jika terjadi kegawatdaruratan shg proses mobilisasi manusia dan barang lebih cepat, terkelola dan terukur baik kepentingan militer / sipil / kemanusiaan
      5. Menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Jawa Timur.
      6. Dan lain-lain

      Ini hanya sekedar contoh usulan unt wilayah Jawa Timur agar berani bertindak dan berpikir lateral. Janganlah kepentingan strategis pertahanan udara NKRI diperlemah oleh ular2 / tikus2 yg serakah dan tamak yg mendewakan kapitalisme dan liberalisme.

      Hanya unt Indonesia Raya

  5. Lamp (gak nyambung) on

    bangun saja lagi bandara sipil, kan cadangan devisa kita masih buanyyakkkkk. klo bandara yg fungsinya sbg lanud AU ya jgn diganggu lah ntar klo ada gangguan keamanan dan AU tidak bisa menangani secara sigap karena tumpang tindih kewenangan bandara, yg mau disalahkan siapa??? ya TNI AU kan. Awas ada penyusup berbaju pembela petumbuhan ekonomi dan pembela sipil tapi punya misi melemahkan TNI.

  6. Yap, harus dibedakan mana utk sipil n militer.. krn keduany sangat beda tujuan.

    jgn lupakan juga, highway2 di Indonesia dpt pula digunakan sebagai runway dadakan n utk situasi mendesak.. Tol2 di Indonesia pd awalnya memiliki fitur utk penerbangan darurat.

    Menerawang masa depan N219 >> http://kasamago.com/2133-2/

  7. numpang nimbrung min, ane cuma kutip dr warungnya pak Pray yg mgkin bisa kasih tambahan dr sisi intelijen, mf cuma se”uprit” soalnya artikelnya mgkin 3x lipat dr artikel diatas,
    Keterkaitan Lanud Halim sebagai tulang punggung pertahanan Negara mestinya difahami dan dipikirkan, terutama terkait dengan training, kerahasiaan pergerakan, pengamanan fasilitas militer. Dalam hal ini penulis pernah terlibat dalam operasi
    clandestine (belasan kali selama bertugas), yang intinya team melakukan operasi desepsi pengiriman material khusus ke sebuah negara dengan Hercules, dengan catatan apabila misi bocor dan ditembak negara lain tidak akan diakui kegiatan tersebut. Semua dilakukan dengan pengamanan intelijen, dengan cover name, cover story. Disini artinya kerahasiaan tidak boleh bocor sama sekali karena menyangkut keamanan alutsista serta personil yang terlibat. Bagaimana kerahasiaan mission apabila operasi penerbangan dipegang oleh sipil?
    http://ramalanintelijen.net/?p=10006

    • Bagaimana kalau halim hanya dijadikan ikon Bung, masih ada lanud2 lain yg tersembunyi dan bisa untuk tugas2 yg ebih rahasia.

    • Setuju dgn pendapat anda, bung…hal seperti inilah yg disebut solusi membangun…dan bandara kertajati itulah contoh yg baik unt diterapkan di provinsi lainnya.

Reply To Pager Wojo Cancel Reply