“Price” Versus “Value”

18

“Price” Versus “Value”

dedenew331

Pangkalan Angkatan Udara yang terletak di Cililitan aslinya adalah sebuah aerodrome yang diperuntukkan bagi keberadaan sebuah Angkatan Udara yang bertugas menjaga kedaulatan negara di udara.

Dengan menyandang status tersebut maka pada hakikatnya Pangkalan Udara Cililitan adalah sub sistem dari alat utama sistem senjata Angkatan Udara (alutsista AU).

Pangkalan Udara Cililitan juga merupakan bagian utuh dari sebuah sistem pertahanan udara nasional dan sekaligus menjadi bagian utama dari sistem pertahanan Nasional Republik Indonesia.

Pangkalan Udara Cililitan ini kemudian diberi nama Halim Perdanakusuma yang terutama sekali bertujuan untuk memberikan penghormatan bagi seorang pahlawan yang banyak berjasa dalam memelopori dan turut mendirikan Angkatan Udara di Indonesia.

Suatu penghargaan yang bertujuan pula agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda, penerus perjuangan bangsa Indonesia di bidang kedirgantaraan dalam tugas suci membangun sebuah “National Air Power” yang disegani pada tataran global.

Dalam gerak laju jalannya pembangunan nasional, sebuah aerodrome seperti Lanud Halim Perdanakusuma kemudian dilihat dari dua perspektif yang jauh berbeda.

Aerodrome itu utamanya berfungsi sebagai subsistem dari sistem pertahanan keamanan negara Republik Indonesia.

Namun, pada sisi lain, Halim juga dilihat sebagai sekedar sebuah fasilitas istimewa yang sudah tersedia dan siap pakai, yang sayang bila tidak dimanfaatkan untuk menangguk keuntungan finansial dalam konteks pengembangan penerbangan sipil komersial.

Berkembangnya pembangunan ibu kota Jakarta telah memberikan Halim lebih banyak lagi nilai tambah karena berada dalam posisi yang sangat strategis, terutama dalam aspek pertahanan keamanan negara.

Bersamaan dengan itu, nilainya juga meningkatkan dalam konteks penyelenggaraan penerbangan sipil komersial berkait dengan sistem transportasi udara nasional.

Sayang, dalam perkembangan, Halim lebih dan bahkan hanya dilihat memiliki nilai “komersial” dibanding dengan perjuangan panjang puluhan tahun bersusah payah bermandikan darah dan keringat dari para pejuang dirgantara.

Padahal, mereka mempertaruhkan nyawa untuk dapat menjadikan Halim sebagai garda terdepan dan tulang punggung dari sebuah bangunan penjaga martabat bangsa di wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada dua momentum yang semakin memantapkan persepsi Halim lebih kepada nilai “komersial” dibanding Halim yang berfungsi “hankamneg“.

Yang pertama adalah di tahun 1980-an saat Halim dipergunakan sebagai International Airport untuk sementara waktu dalam memberikan kesempatan selesainya pembangunan Soekarno Hatta International Airport (SHIA) di Cengkareng.

Berikutnya adalah saat kegagalan manajemen dari penyelenggara penerbangan sipil komersial dalam mengelola pertumbuhan penumpang di SHIA yang mencapai puncaknya di akhir tahun 2013.

Akibatnya di tahun 2014 terjadilah apa yang dikenal sebagai “optimalisasi pangkalan udara Halim Perdanakusuma” bagi penerbangan sipil komersial berjadwal di Indonesia.

Kedua momen ini telah “berhasil” menguatkan persepsi banyak orang untuk kemudian melihat Halim dari aspek komersial belaka.

Posisi dan kondisi Halim yang telah demikian berkembang itu, telah serta merta menempatkannya pada posisi yang sangat rawan dari persepektif pertahanan keamanan negara.

Yang sangat disesalkan adalah, karena hanya fokus melihat Halim memiliki nilai komersial belaka, maka ada dua hal yang sangat prinsip telah diabaikan.

Yang pertama adalah terabaikannya kepentingan latihan dan operasi penerbangan Angkatan Udara di Halim, serta –yang kedua– faktor keselamatan penerbangan sipil komersial itu sendiri.

Kedua hal ini sangat jelas indikasinya di saat-saat awal Halim diperintahkan untuk membantu penyelenggara penerbangan sipil komersial akibat ketidakmampuan mengelola penerbangan di SHIA, yaitu memberikan ruang bagi “kelebihan traffic” nya di Halim pada awal tahun 2014 yang lalu.

Tidak hanya dibebankan kelebihan traffic SHIA yang sudah terlanjur salah urus itu, Halim juga telah menjadi ajang penambahan rute dan slot penerbangan berjadwal yang sama sekali baru, sesuai dengan kajian peluang pasar bagi bertambahnya keuntungan komersial pada rute-rute tersebut.

Anehnya, pasca terjadinya tabrakan pesawat terbang di Halim (karena padatnya traffic), yang terjadi sesudahnya adalah bukan mengurangi jumlah frekuensi penerbangan agar lebih mudah dikendalikan, namun justru menambah lagi jumlah penerbangan dengan rute dan slot yang baru, sekali lagi dengan pertimbangan semata kepada permintaan pasar.

Faktor keselamatan penerbangan, apalagi unsur kepentingan sang tuan rumah (latihan terbang Angkatan Udara) sama sekali menjadi terabaikan.

Sekali lagi, terlihat bahwa keuntungan komersial yang bersifat materialistis kemudian mengabaikan hal-hal yang tidak terkait langsung dengan kenaikan jumlah keuntungan yang menjadi target utamanya.

Sama sekali tidak terlihat kebersamaan dalam pengelolaan Halim sebagai fungsinya dalam aspek komersial dengan penggunaan dan fungsinya pada aspek hankamneg.

Halim memang hanya diperlukan saat pengelola penerbangan sipil komersial menghadapi masalah besar, yaitu saat membangun SHIA dan pada saat SHIA sudah terlalu padat traffic penerbangannya.

Pada saat SHIA selesai di tahun 1985, Halim ditinggalkan begitu saja, bangunan dan instalasi menjadi kumuh tidak terawat sama sekali. Mereka kemudian datang kembali ke Halim , saat SHIA sudah terlalu penuh dengan hanya me “make-up” ala kadarnya.

Demikian pula halnya dengan pemberangkatan dan kedatangan bagi penerbangan haji. Saat masih mampu memperoleh keuntungan, maka penerbangan haji diselenggarakan di SHIA.

Namun saat menghadapi kesulitan dan tidak menguntungkan lagi, penerbangan haji dikembalikan lagi ke Halim dengan catatan untuk efisiensi yaitu dengan alasan asrama haji yang lokasinya dekat dengan Halim.

Semua itu memberikan gambaran terang benderang tentang mutu dan bagaimana “kualitas” manajemen penerbangan sipil komersial di Indonesia.

Dominannya kegiatan penerbangan sipil komersial di tengah-tengah instansi dan instalasi pertahanan keamanan negara telah menjadikan Halim sangat rawan dalam aspek “national security awareness”.

dedenew306

Agak berbeda dengan PSSI yang terlihat begitu panik saat dikeluarkan dari FIFA karena tidak menyesuaikan diri dengan statutanya. Pada waktu itu terlihat semua pihak berusaha mati-matian dan segera berupaya untuk dapat kembali menjadi anggota FIFA.

Tidak demikian halnya dengan pengelola penerbangan sipil komersial yang sudah sejak tahun 2007 tetap tidak mampu untuk “comply” dengan International Civil Aviation Safety Standard dari ICAO ( International Civil Aviation Organization).

Solusi pemecahan masalah terhadap kelebihan kapasitas di SHIA yang hanya memindahkan masalahnya ke Halim memberikan kesan tentang tingkat kemampuan dalam mengelola penerbangan sipil pada aspek keselamatan terbang.

Demikian pula dengan tindakan menambah jumlah rute dan slot penerbangan setelah terjadinya tabrakan di Halim, menambah panjang lagi daftar pertanyaan tentang apa gerangan yang sebenarnya menjadi pedoman dasar dalam mengelola penerbangan sipil dalam aspek keselamatan penerbangan di Indonesia.

Itu masih ditambah dengan insiden keluarnya penumpang rute Internasional Maskapai Lion Air melalui terminal domestik di SHIA belakangan ini.

Yang sangat parah adalah bagaimana otoritas penerbangan Internasional melihat betapa ajaibnya, sebuah maskapai penerbangan di Indonesia yang telah melakukan kesalahan dan kemudian dijatuhkan sanksi oleh otoritas penerbangan sipil justru melawan dengan mengadukannya ke pihak kepolisian.

Itu semua telah membawa Indonesia jadi semakin jauh terlihat dari upaya yang dikerjakan untuk mematuhi regulasi keselamatan penerbangan sipil Internasional dari ICAO.

Sebuah pertunjukkan yang sangat kontra produktif dari usaha keras Kementrian Perhubungan belakangan ini yang ingin segera menaikkan tingkat penilaian FAA (Federal Aviation Administration) dari kategori 2 ke Kategori 1 dan upaya meraih kepercayaan untuk menjadi “counsil member” di ICAO.

Di sisi lain, sebenarnya dengan kepala dingin dan berorientasi kepada banyak kepentingan yang harus difasilitasi, masih ada beberapa cara “sementara” untuk mengatasi kesemrawutan traffic yang terjadi.

Manajemen SHIA Cengkareng, dalam upaya mengatasi traffic penerbangan belakangan ini yang juga ternyata terus bertambah, telah memutuskan untuk segera menutup satu-satunya lapangan golf yang berada di dalam kawasan aerodrome SHIA, semata untuk meningkatkan derajat keselamatan penerbangan sipil komersial di sana.

Sebuah pemikiran yang berorientasi kepada keselamatan penerbangan, yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan juga di Halim.

Berdekatan dengan runway Halim, bahkan terdapat 3 buah lapangan golf, yang sangat wajar satu atau dua diantaranya dapat dialih fungsikan untuk menambah infra struktur penerbangan di kawasan Halim.

Sebuah pemikiran yang berorientasi kepada keselamatan penerbangan sipil komersial dan sekaligus dapat menambah ruang bagi latihan terbang Angkatan Udara untuk dapat keluar dari himpitan sebagai akibat terdesak oleh traffic penerbangan sipil komersial di Halim.

dedenew212

Angkatan Udara sendiri sudah sejak lama memiliki masalah terutama dalam posisinya yang harus bersikap menghadapi persoalan Pangkalan Udara Halim.

Angkatan Udara sudah sejak tahun 1965 berada dalam kekelaman yang parah dan masih belum berhasil atau mampu untuk memposisikan dirinya agar dapat memperoleh perhatian dan kepercayaan untuk bisa berdiri setara dengan Angkatan lainnya.

Angkatan Udara sepertinya masih belum dilihat “cukup penting” keberadaannya di negeri ini. Sistem pendidikan dan pembinaan di Angkatan Udara pun ternyata belum mampu mencetak perwira-perwira yang pantas untuk dapat memperoleh kepercayaan menduduki posisi strategis termasuk untuk jabatan Panglima TNI.

Angkatan Udara belum mampu menghasilkan perwira-perwira yang cukup handal untuk dapat bernegosiasi dalam adu kepentingan dengan para pengelola penerbangan sipil komersial.

Terutama sekali saat Halim di “fait accompli” harus membantu kesemrawutan penyelenggaraan penerbangan sipil komersial yang terjadi di SHIA.

Di situlah Halim kemudian dilihat “hanya” sebagai fasilitas dan sarana yang sudah sepantasnya digunakan untuk penerbangan komersial saja.

Penerbangan komersial yang kemudian terlihat tidak hanya berhimpitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga merambah ke politik dan dunia bisnis.

Angkatan Udara dalam hal ini memang tidak pernah berhasil dalam mencetak perwira-perwira yang berkemampuan berkiprah dalam kancah sosial politik. Angkatan Udara juga tidak mampu mencetak perwira-perwira yang handal dalam berbisnis.

Karena hal itu semua (sosial politik dan bisnis) memang tidak ada hubungannya dengan profesionalitas dan tugas serta keberadaan dari sebuah Angkatan Udara.

Pada titik ini, terasa sekali makna “kebenaran” dari ucapan Warren Buffett , seorang pemodal sukses di dunia yang berkata, “ We simply attempt to be fearful when others are greedy and to be greedy only when others are fearful.”

Dalam konteks ini siapa yang “fearful” dan siapa pula yang “greedy” kiranya sudah sangat jelas terlihat di permukaan dan kiranya tidak memerlukan pembahasan lebih jauh.

Orang akan lebih cepat dan mudah memilih hal yang memberikan keuntungan finansial langsung di depan mata dari pada harus mencoba untuk memahami tentang aspek Hankamneg dan martabat bangsa yang terasa jauh sekali di awang-awang.

Untuk tugas-tugas menjaga kedaulatan negara di udara, mungkin harus menunggu sampai terciptanya sebuah kementrian penerbangan nasional yang dipimpin oleh orang sekelas ibu Susi yang telah sukses dalam unjuk kerja di garis garda terdepan dalam memimpin pelaksanaan tugas suci menjaga kedaulatan negara di laut.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat yang sarat makna : ”Price is what you pay and Value is what you get” .

Oleh Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim
Gambar By Google, Patsus Dede Sherman dan Patsus Citox

Share.

18 Komentar

  1. ISMEDS BECKHAM on

    Begitu sulitkah pemerintah mengembalikan status bandara Halim tsb keasal peruntukanya semula.??
    Haruskah keamanan bangsa ini dipertaruhkan demi sedikit keuntungan bisnis semata.??

    Tanya kenapa..???

    ===NKRI HARGA MATI===

  2. Gunung Jati on

    Kenapa Arogan sekali Lion Air, sudah salah malah menuntut balik lapor polisi. Kumis Rusdi Kirana seharusnya di cukur agar ga arogan seperti itu.

  3. Pemerintah tersandera secara politik untuk mengembalikan status Halim sebagaimana mestinya. Jadi butuh kekuatan politik penyeimbang untuk membebaskan posisi pemerintah saat ini.

  4. Bakulo Wajaro on

    Hehehehehe… Belum kelar juga permasalahan Halim sampai saat ini malah semakin ruwet kyk benang kusut..hadeeuuhh… Kalo kekuatan pemodal sdh merayap masuk ke sendi kekuasaan yah begini sulitnya mengatur mereka.. Mudah2an rasa nasionalisme masih kuat dan semakin membara dihati semua rakyat bangsa ini..
    Adios amigos#edisi halim tempat lahir beta..wkwkwkwkwk

    • pemburu rajawali on

      Ya buat saja insiden kecil kaya kaca kokpit bolong2,atau engine burn attempt to take off,atau ya pasang aja batako sma mutan conblok di hanggar si Sombong.
      Masih jg ga paham,ya sdh bikin saja semua flight crewnya pecandu.. Xixixixi

      #cobaah,apa yg terjadi ya klo all transponder si sombong UN Known? Bakal di shootdown ga?

  5. Gpp… itung2 belajar mengatur traffic udara menuju kedaulatan FIR…
    Mari belajar dari singapur yg kecil, traffic padat

  6. Demi lembaran duit, Ketahanan & pertahanan Nasional serasa ilalang yang terabaikan

    Plis, KemHan & TNI. Jangan mau kalah dengan kekuatan modal, FIR Natuna sdh sangat menanti..

  7. Permasalahan Halim sangat ruwet ya karena masing-masing Maskapai Swasta berlomba-lomba menambah Slot terbang dan tidak mengembalikan Slot-slot yang tidak efektif/tidak digunakan..
    Seperti kasus penerbangan ke Medan, dari Jakarta berapa kali sehari misal 35x.. namun nyatanya yang terbang cuman 20 flt, yang sharusnya yang 15 flight ini dikembalikan/dicabut sehingga slot SHIA tidak penuh sesak…terkadang alasan dipertahankan karena tidak ingin slot itu dimiliki kompetitor,(jadi tujuannya adalah persaingan antar Maskapai)..
    Meskinya dengan tertib administrasi dan jadwal harusnya bisa meminimalisir kepadatan SHIA, bukan menambah masalah baru di Halim dgn smakin ditambahnya slot-slot baru yang nyatanya di SHIA banyak yg ge efektif..

  8. lah terus harus bagaimana…selama itu kontrak tidak bisa dibatalkan ..apakaha ada draft peraturan yang akan direview setiap tahun atau 5 tahun sekali… jika memang akan dikembalikan sesuai fungsi awal… moga2 di tahun kepemimpinan ke 2 Pak Jokowi bisa memberikan jalan ataupun solusi terbaik…dengan adanya pembangunan BANDARA baru di Majalengka….hayoo pak Presiden ingatkan Pak Menteri Perhubungan untuk memantau sekaligus mempercepat pembangunan Bandara Baru pengganti Halim….

  9. pemburu rajawali on

    Bangsa ini akan tersadar dari lamunan impian jika terjadi insiden besar.. Tapi jika belum terjadi,mka akan di anggap biasa serta normal. Jika pak cheppy sdh bicara lantang,miris,prihatin maka itu salah satu jeritan yg tertahan dari sebuah kekuatiran akan keselamatan-keamanan bangsa,negara jg pelaku serta pengguna jasa. Tak semua jendral ,perwira atau prajurit aktif bisa bicara bebas dan lepas tp bertanggung jawab. Krn byk mrk yg memegang kekuasaan berlaku Tuhan dan mengIbliskan bawahan..

    Sekarang Nikmatilah kondisi penerbangan yg “super Dupper” ini dan nantikan Kejutan-Kejutan Manis utk mereka” yg sdh kekenyangan dg kemunafikan uang jg kekuasaan.

    #emanh enak diBoongin syarap jg duarte!!

    • setuju dgn Bung PR…. sekarang dilaut diobok2 nanti lupa…di Udara kita lengah…kejadian baru panik…mudah2an disaat terlena…KOOPSAU dan KOHANUDNAS tetap siaga 24 jam…

  10. Salute atas buah pikir Marsekal….
    Pertama dasar yg harus dikritisi adalah perjanjian antara INKOPAU dgn anak perusahaan Lion yg menjadi dasar biang kesemrawutan kondisi halim saat ini.
    Coba itu dulu di usut,saat perjanjian itu terjadi siapa dr pihak AU sbg kepala INKOPAU nya dan para Pati yg kasih jalan.
    Logika hukum nya dimana coba tanah dan fasilitas pertahanan negara bisa beralih fungsi sebagian penguasaan atas pengendalian fasilitas lanud halim P.K. bs berubah hanya dgn perjanjian antara INKOPAU (apakah representatif) dgn anak usaha Lion dgn nilai yg tdk seberapa dgn value dan kerugian yg di dpt.

    Miris…..

    Skrg yg di tunggu adalah langkah nyata dari pemerintah,solusi apa yg bs diberikan agar bs kembali menjadi fungsinya msg” dan ada jln keluar bagi mslh manajemen tranportasi udara.

    #mohon maaf bila kurang tepat dan berkenan

  11. memang ta mudah mengatur apalagi mengubah suatu tradisi lama untuk kebaikan bersama dimasa depan.dan tentunya akan lebih sulit lagi bila ada beking lokal/non-lokal yang menpunyai link dengan jajaran penguasa.
    …dipemerintahan saat ini..diri melihat adanya pola perubahan yang radikal dalam birokrasi.namun akan terhalang -masalah tanpa sebab-bila menyentuh wilayah”zona merah’..seperti parlemen ataupun departemen.
    …bagi diri ini sesungguhnya merupakan suatu keajaiban yang nyata dan langka bila sampai saat ini DPR dan pemerintah masih bisa bertahan dalam kebersamaan…yang akhirnya rakyat bisa tenang dan damai didalam bermasyarakat….xixixiiii
    …persoalan bandara halim belum bisa tersentuh pemerintah karena masih ada -benang merah(pembatas jarak)-yang memaksa pemerintah hanya sebagai pengamat…?? ? ?
    …jadi diri merasa bahwa pemerintah sepertinya masih meraba raba untuk menunggu saat waktunya tiba untuk masuk..karena sekarang terlalu banyak penguasa pribadi yang berkuasa dibandara halim…hehheheee
    …maaf asumsi diri semata

  12. ada yang janggal di halim seakan akan persaingan bisnis dan yang ke2 adalah ingi n menurunkan kembali niat indonesia untuk mengambil alih fir,,, bisa diliat jika di halim saja tdk mampu mengelola secara bagus dan baik kenapa mau mengambil fir,,, pasti ada otak singapura di balik ini semua,,, ketidak mampuan inilah yang akan dijadikan kunci singapura untuk tdk memberikan fir kpd indonesia,kalo ini mmg bnar trjdi spt ini maka bangsa kita akan di rugikan lagi dan akan kembali mendapatkan hasil nihil
    sejatinya halim itu kan milik au,,knpa skrg angkasapura malah yang pegang dan seakan akan menguasainya,,,mengusir tni scr halus..

Reply To temurose Cancel Reply