ANTARA MALIOBORO DAN TANJUNG BALAI
==========================================
Sendiri dalam diam melihat dunia kaca jendela dan irama burung berkicau. Masa sulit tentang pencarian jati diri dan bertengkar dengan alam emosi.
Bertarung melawan ego berdialog dengan ide-ide di saat orang bekerja dengan kepentingan tertentu.
Hanya membaca dan mengamati perkembangan serta menikmati semua kejadian yang berlaku di YOGYAKARTA bagaikan angin berlalu.
Memang sedikit menjenuhkan masa vakum yang dilalui berpikir pada alam nyata.
Tersungkur di pojok TANJUNG BALAI, vakum itu bagaikan kemacetan yang menimpa.
Harus mengevaluasi jalan yang dilalui agar bisa mendapatkan pengalaman dan bangunlah kebersamaan kesatuan dan persatuan dengan cara bergandeng tangan.
Saling berkoordinasi dengan menjaga keutuhan dan kebersamaan diantara mahasiswa Papua dan pemerintah propinsi DIY serta masyarakat Yogyakarta terkait isu-isu yang dibangun di Yogyakarta dengan satu kesepakatan dicapai ” Bukan menolak orang Papua tetapi menolak kelakuan mahasiswa Papua” dan berikrar bahwa keberadaan mahasiswa Papua di propinsi DIY sebagai bagian dari warga Yogyakarta.
Maka membangun komunikasi, menjaga keamanan mahasiwa Papua dengan warga dan pemerintah DIY dengan baik akan lebih mudah diterima.
Bertarung melawan ego mahasiswa Papua yang membuat keributan akibat minuman keras ataupun hal lain ( SEPARATIS ), bisa membakar seluruh paguyuban masyarakat Papua Yogyakarta.
Kisi-kisi kilatan air laut selat Malaka menghujani keringat yang garing dan kering pada sebuah perahu tua. Membanting ego yang terjepit dari jiwa-jiwa yang lara dan berkasak-kusuk tentang sebuah PRULALISME.
Memasinkan lidah yang terbakar oleh kepedasan Sambalado hingga menyingkirkan aroma asli Kepiting dan kerang pantai Tanjung Balai.
Menipu hati nurani sendiri yang bergejolak dari relung jiwa dan dihalunisasi oleh sebuah suara ADZAN dan bunyi KLENTENG yang tidak lagi senada, meniadakan resep hormat menghormati dan aroma Toleransi umat beragama.
Sikap Tenggang rasa semakin pudar dari genggaman masyarakat minoritas Tanjung Balai meniadakan semangat konsep musyawarah mufakat bagai lukisan kusam yang tergantung di dinding rumah mewah.
Maka kata sepakat adalah ” Bukan menolak masyarakat Minoritas tapi kelakuan individu Minoritas “.
Masyarakat Tanjung Balai yang guyup rukun dari tiga mayoritas terbesar hendaknya di diambil sikap RAMBATE RATA HAYO oleh masyarakat minoritas, lalu berikrar tentang Toleransi dan sikap Tepo sliro kemudian bergandeng bahu untuk membangun sebuah Prulalisme, Humanisme, Dinamisme dan Pancasilaisme.
NGAYOGYAKARTA bermaksud aman damai dan tentram.
Barangkali hanya Yogyakarta yang berhak meraih predikat sebagai kota Majemuk di Indonesia.
Kemegahan warisan nenek moyang yang meninggalkan peradaban agung Nusantara kerajaan Hindu, Budha dan kesultanan Islam telah menceritakan segala-galanya tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi Prambanan yang berunsur Hindu, Candi Borobudur yang bernuansa Budha dan Keraton Yogyakarta kesultanan islam Mataram merupakan tiga unsur penting yang menciptakan watak dan karakter umum serta jati diri rakyat Yogyakarta ( KEJAWEN ).
Disamping itu juga, masih ada lagi unsur PLURAL di dalamnya dengan kehadiran masyarakat PECINAN dan perkampungan ARAB yang ikut mewarnai roda-roda kehidupan Yogyakarta.
Sebagai Ikon tatanan kasta tertinggi dari JAWAISME di seluruh dunia, masyarakat Yogyakarta memiliki Andab asor yang mengagumkan.
Budaya Keraton ( JAWA CENTRIS ) yang lemah lembut dan bersopan santun telah sukses membentuk ciri khas masyarakat Jawa dari Sabang sampai Merauke, dari Madagaskar sampai Suriname, dari Malaysia sampai Belanda.
Sifat keterbukaan menerima orang luar sudah lama berlaku dalam sendi-sendi filosofi penduduk Ngayogyakarta.
Dan……
Maka tidak benar sama sekali, apabila ada klan-klan atau separatis-separatis yang mengatakan bahwa Jawa itu Penjajah.
Jutaan sarjana dari pelosok tanah air dan juga mancanegara telah dicetak dari kota Pendidikan ini, meniadakan tuduhan-tuduhan yang miring tentang Jawa Penjajah.
Belajar dari kasus pengalangan simpatisan GAM di luar negeri, maka negara Malaysia adalah lumbung emas sebagai pemasok utama dana perjuangan GAM disamping jumlah simpatisan yang berprofesi berbagai macam baik pekerja ataupun pelajar yang mencecah puluhan ribu jiwa di negeri jiran.
Hal ini untuk memecah konsentrasi pihak berwenang NKRI yang juga harus berhadapan dengan negara-negara luar yang memback up perjuangan mereka seperti Swedia, Turki , Libya dan Malaysia.
Disamping negara-negara Melanesia dan negara-negara pelindung OPM ( Amerika, Belanda, Inggris dan Australia ), Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang dihuni sekitar 400 ribu pelajar dan mahasiswa juga tidak lepas dari tempat untuk mamasang corong referendum papua melalui mahasiswa mereka.
Hukum dan aturan sejatinya dibuat untuk mengatur kenyamanan orang banyak, tetapi bila hukum dan aturan itu ditegakkan namun malah menimbulkan efek ketidaknyamanan pada orang banyak. Ini bukan berarti bahwa hukum atau aturan tersebut cacat, tapi penyimpangan prilaku-prilaku dari orang banyak itu sendiri yang membenturkannya.
Sungguh mengherankan bila kenyataan dari gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yang menolak gerakan Separatis untuk berkembang biak di Yogyakarta, telah disalah artikan oleh aliansi Mahasiswa dan komunitas Papua di Yogyakarta yang ingin keluar dari kota Yogyakarta dan mengancam balik akan mengusir masyarakat pendatang Jawa di Papua.
Sebagai seorang NEGARAWAN yang memimpin masyarakat Plural dan kemajemukan Ngayogyakarta, Sri Sultan berhak dan bertindak wajar demi kenyamanan dan keharmonisan rakyat Yogyakarta dari gangguan dan bibit-bibit separatis OPM yang selama ini sudahpun diberi hak sebagai warga negara untuk belajar di kota pendidikan tersebut.
Mahasiswa Papua berhak belajar dimanapun di tiap koridor NKRI tapi bukan untuk menjulangkan bendera bintang kejora di jalan-jalan Yogyakarta.
Setiap kelompok pasti mempunyai budaya dan adat istiadat tersendiri.
Untuk melindungi suatu bangsa dan peradaban dari kemusnahan maka lindungilah adat istiadat dan budayanya terlebih dahulu.
Tatanan-tatanan, norma-norma dan nilai etika penghuninya ( generasi muda dan masyarakat nya ) harus melaksanakan prinsip dan aturan tentang langkah dan tingkah laku untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan sekaligus mempraktekkannya dalam lingkungan sekitaran.
Setiap kelompok, etnis, suku dan bangsa pasti ingin mempertahankan jatidiri, identitas dan sejarahnya atau DESA MAWA CARA NEGARA MAWA TATA begitu juga dengan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah mengalami berbagai peristiwa dan sejarah peralihan pemerintahan dari kerajaan Hindu, kerajaan Budha, kesultanan Islam dan Ibu kota RI.
MALIOBORO sebagai jantung Yogyakarta menyaksikan penguasaan ekonomi oleh etnis minoritas TIONGHOA di jalan yang namanya mendunia tersebut. Tidak ada bentrokan atau pembakaran tempat ibadah, tidak ada kerusuhan antara etnis mayoritas dan etnis minoritas, bahkan tidak ada yang protes tentang speaker Masjid ( ADZAN ) dari etnis minoritas Tionghoa.
Bila kerukunan antar tetangga ( RT ) masih dikedepankan maka disitu akan timbul sifat guyup rukun dalam sistem kekeluargaan antara etnis Minoritas dan Mayoritas, dalam istilah lainnya adalah TAHU DIRI dimana etnis Minoritas Tionghoa yang menguasai jalur ekonomi kawasan elite Malioboro masih memegang prinsip “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”.
Ungkapan pentingnya bagi setiap orang ( Minoritas ) melihat perbedaan yang ada pada diri orang lain yang lebih besar ( Mayoritas ).
Kecendurangan Minoritas yang bertahan hidup dalam komunitasnya adalah sebagai bentuk mempertahankan adat dan budayanya, tapi kelompok Minoritas tersebut harus menanamkan sifat TATA agar tidak bertabrakan dengan kelompok yang lain ( Mayoritas ).
Kasus TANJUNG BALAI telah menampakan ketimpangan nilai-nilai budaya TAHU DIRI dan mengedepankan syak wasangka sebagai penguasa perekonomian dan tidak lebih dari sebuah ungkapan RUKUN AGAWE SANTOSA CRAH AGAWE BUBRAH ( dalam kesatuan ukuran hidup sentosa dalam perselisihan hidup sengsara ).
Dalam arti jika melepaskan semua sekat atau aturan atau formula dalam kehidupan masyarakat yang majemuk ( tanpa hukum ), maka secara jelas bahwa sikap mental dan kondisi batin yang apa adanya yang menunjuk pada tingkah laku yang berselisih, ketidak puasan, iri dan dengki, ingin mengalahkan maka kita yang belum hidup dalam kesatuan ukuran.
Sehari-hari kita hanya hidup memakai topeng karena kita masih memelihara prinsip mental yang tidak rukun.
Budaya tahu diri itu tidak ada, pengamalan dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung itu tidak ada pada etnis Minoritas di Tanjung Balai, siapa SIRA siapa INGSUN adalah perbuatan yang bisa memakan diri pada masyarakat sekitar.
==========================================
Kehidupan berbangsa dan bertanah air adalah suatu komitmen hidup bersama dibawah naungan suatu ideologi ( PANCASILA ) yang telah dirumuskan oleh pendahulu kita, sehingga itulah komitmen yang harus di pegang setiap anak bangsa dan warga negara Indonesia.
Setiap hari kita disuguhkan dengan berbagai macam berita dan informasi mengenai kondisi negara, kita sering merasa greget, geram dengan tingkah laku yang dilakukan oleh kalangan dari level atas hingga level bawah atas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kegaduhan politik tanah air, kegaduhan antar etnis, kegaduhan antar aparat, kegaduhan wilayah daerah yang berujung separatis, kegaduhan umat beragama dll dikarenakan kita sebagai anak bangsa sudah meninggalkan rasa BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagai tali simpul mati hidup berbangsa dan bernegara.
Keprihatinan kita bahwa kandungan berkomitmen kepada ideologi PANCASILA telah ingkar dan tidak nurut telah berakibat kepada biang sumber dari masalah negara sekarang ini.
Salah satu ideologi kepada menciptakan masyarakat adil dan makmur, telah menjadi menciptakan AKU adil dan makmur dengan segala cara ( KKN ) adalah bentuk dari pelanggaran terhadap aturan negara.
Kita semua harus kembali kepada semangat yang sama, berat sama dipikul ringan sama dijinjing dalam sistem gotong royong dalam segala aspek hidup, karena gotong royong dikatakan sebagai unsur pengikat dalam kebebasan atau kemerdekaan yang dalam kemanunggalan.
Sebagai anak bangsa dan generasi penerus peradaban Nusantara, mari kita bergandeng bahu melaksanakan tata tertib dan disiplin pada aturan negara, menghormati hak beribadat, berbaik sangka, menanamkan sifat senasib dan seperjuangan, menguatkan rukun tetangga yang berwelas asih, dimulai dari diri sendiri, keluarga masing-masing, lingkungan sekitar, masyarakat setempat dan seterusnya kepada negara maka niscaya berdampak positif yang besar karena secara akumulatif akan senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang kondusif dari kelanggengan NKRI.
Berjalan dalam badai hujan dan menyaksikan sayap-sayap anak Garuda yang belajar membidik gerombolan TIKUS PITI yang lagi Kasmaran terhadap kue demokrasi dan buah hak asasi yang disalah kaprah menjadi senjata kebebasan sebagai alat untuk mendurhaka ibu pertiwi.
Ketika sang algojo melempar propaganda dengan surat berantai untuk mencabik-cabik rasa TOLERANSI umat beragama dengan menebar stigma yang keterlaluan agar pedang RASIS senantiasa berkilat untuk menusuk nusuk RAMBATE RATA HAYO di segenap penjuru tanah air.
Maka dan selentingan kabar dusta ditiupkan dengan tujuan agar kevakuman tersebut bisa menabrak aturan DESA MAWA CARA NEGARA MAWA TATA dengan tujuan agar sang Pangeran kecil tetap berkuasa diatas kue demokrasi dan buah hak asasi, atau sebagai ALIBI dari gerombolan TIKUS PITI barangkali.
Andai barter SIAPA SIRA SIAPA INGSUN bisa disulap menjadi HOLOBIS KUNTUL BARIS maka niscaya akan tercipta suatu hubungan yang mengedepankan TATA dan mengubur dalam-dalam ego yang akut dan kronik ditengah-tengah masyarakat yang majemuk.
Mayoritas harus mengayomi Minoritas,
Minoritas harus menghormati Mayoritas dengan memegang teguh prinsip RUKUN AGAWE SENTOSA CRAH AGAWE BUBRAH.
INDONESIA menolak SARA dan bukan menolak umat BERAGAMA,
INDONESIA menolak SEPARATIS dan bukan menolak ETNIS
Oleh Lek Umar Mentaras Biro Kuala Lumpur
Gambar oleh Patsus Citox dan Patsus Dede Sherman
9 Komentar
Sangat menyejukkan Patku Lek Umar Mentaras…Terima kasih
Selama masih memegang prinsip “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”. Insyaallah dimanapun kita hidup dan berhubungan dengan masyarakat…. dijamin aman tentram…. Semoga bisa tetap terus dijaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa… masalah agama Lakum dinukum Waliyaddin… sangat Jelas
Tegakan selalu nilai dan semangat Pancasila diseluruh penjuru NKRI
http://kasamago.com/bentrokan-antar-aparat-bahaya-laten-terus-mengintai/
Kembalikan pelajaran PMP
Pendidikan Moral Pancasila dari tingkat dasar sampai menengah.
Proxy proxy dan proxy
ngayogjokarto….
kuthane aman, berhati nyaman
kota seniman, kota pelajar, lan kabudayan
sepenggal lirik lagu dari genk kobra.
ra sah ngisruh neng jogja.
yen ra gelem di kisruh dewe…
maaf saya pake bahasa jawa, bukan gimana2 tapi udah geregetan aja ama mereka yg separatis di jogja.
# alumni jogja.
Toleransi dalam keragaman etnis, budaya dan agama adalah syarat mutlak dan harus diperlihara unt mencapai kejaya bangsa..!
benih benih separatis di djokjakarta harus di musnahkn krn jk smakin berkembang akn mempengaruhi bibit bibit anak bangsa indonesia lain dari papua, kl masih mahasiswa saja sudah jd separatis bgmana nantiny jk sudah bekerja di pemerintahan daerah?… bisa bisa jd penghianat suku bangsany sendiri.
Di Sumatera utara, Riau dan Kepri orang-orang cina tetap berbahasa cina, introvert, eksklusif, tertutup, sombong, angkuh, penyuap ulung, serakah, tamak dan sok kuasa .. ada bedanya dengan cina-cina yang di Jawa
.. di Jogja, Semarang dan Surabaya walaupun mereka eksklusif tapi mereka “medhok” juga berbahasa Jawa.
Sangat beda dengan cina sumatra yang kelakuannya sama seperti cina Malaysia dan cina Singapur .. yang songong yang typikal nya diwakili seorang AHOK itu .. intulah contoh sempurna cina sumatra .. jadi jangan biarkan orang kayak gini jadi Presiden R.I .. sebagaimana kata Goenawan Mohamad, yakni si Ahok dijaga betul sampai 2019 jadi Wapres, dan Cak Nun (Emha Ainun Najib), yang mengatakan bila konspirasi asing dan aseng dibiarkan, maka di Indonesia tahun 2024 bangsa Pribumi pasti jadi BANGSA JONGOS TOTAL ..!!!
Cima di jawa juga aslinya sama kayak dimana2..sombong dan eksklusif cuman oramg pribumi di jawa kalau dengar oeang cina bicara cina marah …. makanya cina di jawa omong jawa jg….kalau di kalimantan barat….orang cina omong bahasa hakka…atau khek udah biasa….mereka malah bicara bahasa etnis2 dalam cina itu sendiri….cuman karena tipikal orang pri buminya baik melayu atau dayak tu nggak ambil pusing…. jd aman2 aja orang cina omong cina….kalau di warung kopi di pontianak udah biasa dengar orang cina omong cina,melayu omong melayu….dayak omong dayak…. cuman tetep sentimen anti cina masih ada…. pernah denger dari orang cina di warung kopi bahwa dia pun ndak senang sama ahok….dianggapnya omongnya kasar dan berbahaya…bisa menimbulkan kerusuhan kayak mei 98 lg…