SASTRA JENDRA HAYUNINGRATÂ PANGRUWATING DIYU (Fiksi Ilmiah)
Sastra Jendra Hayuningrat = Ilmu pengetahuan tingkat tinggi (KeTuhanan) yang bisa menjadikan kehidupan menjadi lebih mulia derajatnya …
Pangruwating Diyu = Alat untuk meruwat (jalan keluar) dari semua kesialan atau keruwetan hidup yang berasal dari nafsu angkara pribadi …
Memayu hayuning Bawono = Memayungi dan menjadi kemuliaan bagi dunia …
Hamengku Nusa JAWI Kuncaraningrat = Sebagai penguasa atas pulau JAWA yang sinarnya menerangi semesta raya …
Jaya – Jaya – Wijayanti = Menang (dalam kehidupan pertama dalam kandungan ibu kita) – Menang (dalam kehidupan saat ini) – Menang untuk selamanya (dalam kehidupan abadi dikemudian hari) …
Rahayu pepujining Sagung Dumadi = Keselamatan dan kemuliaan adalah doa yang terucap bagi Sang Hyang (Tuhan) oleh mereka yang sadar bahwa dirinya tercipta sebagai mahluk mulia dimuka bumi …
Itu beberapa bagian bait yang dikidungkan … sayup-sayup terdengar diiringi gending yang berasal dari tengah lautan Selatan Nusa Jawa, yang menjadi kesadaran spiritual BRAWIJAYA PAMUNGKAS : SRI GIRINDRAWARDHANA DYAH WIJAYAKUSUMA di atas puncak samadhinya di pantai Ngobaran, Gunung Kidul. Sanepan bahwa tiba saatnya perubahan harus terjadi atas kekuasaan di pulau Jawa, dari pancaran SURYANING WILWATIKTA ke era berikutnya sesuai bergulirnya takdir (Kesultanan DEMAK BINTARA yang berbasis agama Islam). Begitu kidung sanepan (yang punya arti tersirat) berhasil diterjemahkan, maka mantab hati beliau mengundurkan diri dari raja Majapahit di pengungsian untuk memutuskan menjadi Panembahan (Lengser Keprabon madeg Pandhita) di Gunung Lawu.
Semua atribut kebesarannya dibakar ditepi pantai (itulah kenapa disebut Ngobaran), dan bertekad lahir sebagai mahluk baru yang akan melayani dharma dan mendidik anak keturunan yang dipersiapkan alam jadi penguasa berikutnya bagi bumi Jawa. Membakar semua hasrat berkuasa dan merebut kembali MAJAPAHIT dari DEMAK BINTARA (yang runtuh di Dhaha atas serbuan Sultan TRENGGONO, 1527), walau diiringi tangis para pengikut setianya … yang senantiasa berharap bahwa MAJAPAHIT akan bisa dibangun kembali dari tanah perdikan PENGGING yang dianugerahkan oleh raja bawahan BHRE MATARAM. Meminta kepada keluarga dan pengikutnya agar tidak lagi menggunakan gelaran kerajaan yang lebih tinggi dari Bhre Mataram (kelak kerabat Majapahit dipengungsian memakai gelaran Ki Ageng Pengging). Dan yang punya keyakinan bahwa suatu saat akan ada dawuh (berita) dari SRI KENCANASARI (penguasa kegaiban tanah Jawa yang ber istana di laut Selatan) Majapahit diijinkan bangkit kembali, diutus menjaga pantai Ngobaran tempat baju kebesaran dibakar dan pusaka Wilwatikta di sarehkan (pengiring tanda kebesaran ini kelak bergelar Ki Ageng Giring dan menetap di kawasan Gunungkidul).
Alam punya waktu dan janjinya yang harus dipenuhi, seruntuh Demak Bintara ternyata penguasa tanah Jawa berikutnya berdarah Majapahit yang berasal dari bumi pengungsian Pengging. Hanya saja karena situasinya telah berubah menjadi KESULTANAN ISLAM, maka ksatria Majapahit Pengging (lokasi pengungsian Syiwa-Budha Majapahit) harus diberi identitas dan sejarah baru yang sesuai dengan eranya. RADEN MAS KAREBET bergelar SULTAN HADIWIJAYA penguasa Kesultanan Pajang, demikian juga ksatria berikutnya DANANG SUTAWIJAYA yang bergelar SINUHUN PANEMBAHAN SENAPATI ING NGALAGA MATARAM. Mengapa identitasnya tersembunyi dan begitu misterius, itu dilakukan agar tidak terjadi pergesekan antara trah Pengging penganut Kejawen Syiwa Budha dengan kerabat Kesultanan. Tapi lihat dan rasakan nama WIJAYA yang melekat pada keduanya kadang lolos dari pengamatan banyak orang, dan mengapa keduanya mempunyai jejak peninggalan lokasi di area Pengging. Jadi itulah alasan dinasti MATARAM ISLAM menghormati leluhurnya Majapahit. Karena darahnya mengandung genetika kepemimpinan yang sama, hasil olah spiritual ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat”.
Kalau saat itu negeri kita masuk era penjajahan dan kemudian Mataram Islam berusaha dikuasai lewat pengangkatan bangsawan yang kooperatif dengan penjajah, maka kerabat yang tidak setuju memisahkan diri dan melawan penjajah dari kekuasaan baru yang dibentuknya. Maka pecahlah Mataram Islam menjadi 4 bagian ketika harus bertahan menghadapi kondisi saat itu :
Yang pertama KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT, raja penguasanya bergelar Sri Sunan PAKU BUWONO (PB), yang kedua KASULTANAN JOGJAKARTA HADININGRAT, raja penguasanya bergelar Sri Sultan HAMENGKU BUWONO (HB), yang ketiga PURA PAKUALAM, raja penguasanya Sri PAKU ALAM (PA), yang keempat PURA MANGKUNEGORO, raja penguasanya bergelar Sri MANGKU NEGORO (MN). Semuanya bersumber pada trah yang sama : Majapahit pengungsian di tlatah Pengging.
Di era modern saat ini, keempatnya merupakan kerajaan adat dengan perlakuan istimewa dari negara karena merupakan penyokong utama saat negara Indonesia modern didirikan. Negara berusaha tetap menghormati atas kekuasaan adat dan tanah kerajaan yang masih dikelola oleh penerus berikutnya. Kekuasaan dan harta kadangkala bisa jadi malapetaka, termasuk penerus generasi Mataram Islam yang ada. Kasunanan Surakarta saat ini juga masih mencari jalan keluar siapa yang paling berhak menduduki tahta tertingginya, dan saat ini disusul oleh Kesultanan Jogjakarta untuk masalah yang sama. Semoga tidak terjadi dengan dua lainnya.
Konon keempatnya terikat oleh perjanjian dua ksatria Majapahit trah Pengging yang dikenal sebagai wahyu keprabon GAGAK-EMPRIT. Suatu wahyu yang diriwayatkan secara sanepan, seekor burung GAGAK (burung penanda kematian, dalam hal ini lambang kematian kekuasaan Majapahit) yang berkeinginan jadi penguasa tanah Jawa walau harus berubah jadi seekor burung EMPRIT (burung berbadan coklat berkepala putih, melambangkan penguasa baru berbasis keagamaan). Dari kemauan kuat untuk berkuasa atas kerabat Majapahit di Pengging dan Giring, Gunungkidul inilah sejarah dimulai, walau harus menabrak wewaler leluhurnya BRAWIJAYA PAMUNGKAS. Wewaler itu sendiri melarang para ksatria Majapahit menjadi pemimpin utama karena harus laku prihatin “Silem Trah” (menyembunyikan identitas agar tidak konflik dengan politis dakwah Islam yang dibawa Demak Bintara yang menyerangnya). Konon wewaler itu akan mengutuk mereka yang melanggarnya, dengan menghancur leburkan kekuasaan pelanggarnya menjadi 8 bagian. Disaat terbagi menjadi 8 itu, kesadaran para kerabat kembali hadir guna memahami arti wewaler leluhurnya. Saat itu pula akan menjadi saat dimulainya kesadaran peradaban Nusantara.
Pertanyaannya, bila didalam cerita wahyu Gagak Emprit digambarkan perebutan dua kerabat untuk meminum air kelapa muda (degan), apakah memang demikian adanya ? Ataukah itu adalah cerita sanepan atau kejadian yang diperlambangkan saja. Sama seperti sanepan gelar “Lembu Peteng” yang adalah penghalusan dari anak hasil hubungan gelap antara penguasa dengan rakyat jelata. Bagaimana kalau air kelapa muda dalam cerita itu adalah seorang gadis bertrah lurus dari Brawijaya Pamungkas yang diperebutkan oleh dua kerabatnya, karena mereka meyakini dari rahimnya akan lahir penguasa berikutnya atas kekuatan genetika yang bergetar ditubuhnya sebagai penguasa bumi Jawa.
Maka ketika raja Jogjakarta Hadiningrat yang bergelar baru SRI SULTAN HAMENGKU BAWONO KASEPULUH menyinggung masalah wahyu Gagak Emprit dan pusaka utama keraton, saya pribadi telah menganggap ini permasalahan sedang menuju ke pangkal awalnya. PENGGING-GUNUNGKIDUL/NGOBARAN dan leluhur kami semua BRAWIJAYA PAMUNGKAS. Itulah pangkal dari Trah MATARAM ISLAM, yang sedang menggeliat mencari bentuk barunya agar sesuai dengan sabda wewaler pendahulunya dan memenuhi guliran takdirnya semesta. Semoga semua pihak didinginkan kepala dan hatinya atas semua permasalahan ini, karena apa yang terjadi saat ini sudah diramalkan leluhur kita jauh-jauh hari.
Jaya – Jaya – Wijayanti
Jember, 11 Mei 2015
DEDDY ENDARTO untuk WEWALER BRAWIJAYA PAMUNGKAS RI PENGGING
2 Komentar
Sejarah selalu berulang. tetap eling lan waspodo..
Salam dari cah mojopahit asli
Katanya tmn” yg pny ilmu kebatinan kerajaan majapahit cmn digaibkan ke alam diatas alam jin