Menara Impian Aurora (6) : Kamera yang “dipinjam”
=======================================================
Sore itu di distrik Saricam, Adana-Turki, Umit Avdar baru saja memacu motornya untuk kembali ke hotel tempat dia menginap. Belum terlalu jauh dia berpacu di sebuah belokan yang menurun, tiba-tiba saja melintas sebuah mobil yang menghadang jalannya. Spontan Umit mengerem motornya untuk menghindari tabrakan. Namun karena jalanan yang menurun, motornya masih melaju hingga berjarak sangat dekat dengan mobil tersebut. Umit lalu membelokkan motornya agar tidak terjadi tabrakan. Sayangnya upayanya itu membuat motornya menyenggol sebuah kios buah dan membuat dagangan buah-buahan diatasnya tertumpah sebagian ke jalan.
Umit terjatuh dari motornya dan tas berisi kamera yang disandangnya terlempar agak jauh. Cukup lama Umit terbaring kehilangan orientasi sebelum dapat menguasai keadaannya. Sang penjual buah yang rupanya seorang ibu tua lalu mendekatinya. Melihat Umit yang masih bisa bangkit dan sepertinya tidak mengalami cidera, ibu itu langsung saja memarahinya dan menuntut ganti rugi atas kerusakan kios serta dagangannya. Sambil berusaha menenangkan ibu yang marah tersebut, Umit berbalik untuk melihat mobil yang dengan sembrono tiba-tiba saja muncul dan menghadang jalannya. Mobil itu sudah jauh melaju dan meninggalkan lokasi itu begitu saja.
Dalam situasi biasa, Umit mungkin akan mengejar mobil itu dan meminta pertanggungjawabannya. Namun tidak kali ini. Selain karena dia masih harus menghadapi ibu tua penjual buah yang berada di hadapannya. Dia juga harus segera kembali ke hotel untuk menyelesaikan tugasnya. Karena itu Umit membiarkan saja mobil tersebut pergi dan merapikan keadaannya. Setelah menegakkan motornya, Umit berusaha mencari dimana tas kameranya terjatuh. Ternyata tas tersebut tergeletak di jalan pada arah yang pandangannya dihalang-halangi ibu tua yang sibuk memarahinya.
“Ah ya… itu kameraku. Semoga tidak apa-apa.”
Ketika dia mengambil tas kameranya yang terjatuh, disitulah dia menyadari sesuatu.
Tas kameranya terbuka dan kamera di dalamnya hilang!
Umit langsung panik begitu mengetahui barang berharganya tersebut hilang. Bukan sekedar barang berharga bahkan kamera itu baru memuat informasi penting yang harus segera dikirimkan kepada “kolega”nya. Dia harus segera mengirimkan foto-foto konvoi truk besar yang menuju pangkalan udara Incirlik yang berhasil didapatkannya kepada “kolega”nya di Russia. Itu pula yang tadi membuatnya terburu-buru kembali ke hotelnya hingga memacu laju motornya.
Dia melihat sekitar dan tidak jauh dari situ dia melihat seorang anak berlari menjauh masuk ke sebuah gang membawa kameranya. Ketika dia akan berlari mengejarnya, sang ibu penjual buah menahan tangannya dan masih saja mempertanyakan ganti rugi. Sementara itu orang-orang sudah mulai berkerumun dan beberapa diantaranya mulai menanyakan apa yang terjadi. Untuk mencegah kesulitan dan keramaian lebih jauh, Umit mengeluarkan sejumlah uang yang bernilai lumayan dan memberikannya kepada ibu itu.
“Saya yakin ini sangat cukup! Tolong sekalian jaga motorku! Aku akan kembali lagi mengambilnya!”
Ibu itupun melepaskan pegangannya dan berhenti mengomel. Sementar itu Umit segera berlari masuk ke lorong tempat anak yang membawa kameranya masuk. Dia berlari secepat mungkin agar bisa mengejar anak itu. Sewaktu masuk ke lorong itu, Umit tidak melihatnya lagi. Namun berkat petunjuk dari orang-orang yang berada di lorong itu, dia bisa mengetahui ke arah mana anak itu berlari. Demikian terus, sehingga akhirnya dia melihat anak itu sedang duduk santai di sebuah kursi taman di pinggir jalan.
Umit segera mendatangi anak itu dan langsung menariknya dengan keras.
“Dimana kameraku?”, tanya Umit dengan marah.
“Kamera apa?”, anak itu bertanya dengan ketakutan.
“Jangan pura-pura! Kamu membawa lari kameraku kan? Ayo mana kameraku!”, kali ini Umit menarik kerah leher anak itu dengan kuat.
“Tidak! Tidak! Jangan! Tolong! Tolong!”, anak itu, yang nampaknya berusia sekitar 12 atau 13 tahun berteriak keras.
Umit yang semakin marah baru saja akan menampar anak itu ketika sebuah suara hardikan keras seseorang menghentikannya.
“Ada apa ini? Mengapa kamu ingin memukul anak kecil?”
Baik Umit dan anak itu menoleh ke arah sumber suara.
Nampak dua orang polisi, atau setidaknya berseragam polisi, mengamati mereka dari jarak cukup dekat. Sesaat Umit merasa lega dengan kehadiran polisi-polisi itu. Dia mengira kedua polisi tersebut dapat membantunya.
“Pak polisi… anak ini membawa lari kameraku!”, Umit mengadukan persoalannya.
“Tidak pak polisi. Lihat saja aku tidak memegang apa-apa.”, anak itu membela diri.
“Benar begitu?”, kata polisi yang tadi menghardik Umit. “Lalu mana kameranya?”.
“Dia pasti sudah menyembunyikannya pak.”, Umit berusaha meyakinkan polisi tersebut.
“Ada saksi yang melihat dia mencuri kamera itu? Atau yang melihatnya menyembunyikannya.”, polisi kedua menatap Umit dengan tajam.
Umit segera bisa merasakan bahwa kedua polisi itu nampak tidak mempercayainya.
“Saya bisa mencari orang yang bisa menjadi saksi pak.”
“Oh ya? Apa isi kamera itu? Bukan material kegiatan mata-mata kan?”, polisi pertama malah makin memojokkannya.
“Apakah kamu orang yang sibuk memfoto konvoi yang memasuki Incirlik tadi?”. polisi kedua ikut menimpali.
Umit segera menyadari bahwa kedua orang polisi ini tidak akan membantunya. Malah sepertinya keduanya akan membawa kesulitan baginya.
“Kamu boleh pergi nak. Orang ini tidak punya cukup bukti dan saksi.”, kata polisi pertama kepada anak yang diyakini oleh Umit sebagai pencuri kameranya.
“Nanti dulu. Dia belum memberitahukan dimana kamera saya.”, Umit berusaha mencegahnya.
“Hey! Jangan ikut campur! Apa sebenarnya isi kameramu? Bisa kamu ceritakan foto-foto tentang apa isinya?”, polisi yang pertama malah membentak Umit.
“Atau kamu ingin menjadikan kasus pencurian ini sebagai kasus mata-mata?”, polisi kedua juga menghardiknya.
Umit mengerti sekarang. Seluruh kejadian ini, dari sejak tabrakan tadi, ibu pedagang yang mengalihkan perhatiannya, pencurian kameranya dan kedua polisi ini adalah operasi intelijen dinas keamanan Turki. Dia sadar dia sebaiknya tidak membuat masalah lebih jauh. Jika tidak, dia bisa saja ditangkap dengan tuduhan melakukan kegiatan spionase, yang memang benar adanya. Dia segera berjalan meninggalkan tempat itu dan tidak menoleh kembali. Dalam hatinya, Umit sempat heran mengapa pihak intelijen dalam negeri tidak menangkapnya padahal mereka bisa melakukannya.
“Mungkin saya beruntung. Mereka hanya ingin menyita kameraku tanpa terlihat mencolok dan juga tidak ingin memperpanjang masalah ini.”, pikir Umit sambil berlalu dari situ.
**********************************
Sebenarnya bukan karena Umit beruntung. Ada hal lain.
Dua blok dari situ, sebuah mobil van yang berisi empat orang agen MIT (dinas rahasia Turki) sedang sibuk memindahkan isi foto kamera Umit ke dalam laptop mereka.
“Berapa lama proses injeksi pesannya?”, tanya seseorang yang sepertinya supervisor dari ketiga agen yang lain.
“Tidak lama pak. Sekitar 20 menit untuk penulisan pesan dan mungkin sekitar 5 menit untuk mengkopi balik ke kamera miliknya.”
“Oke. Semoga pihak Moskow bisa membaca pesan itu dan mencegah masalah ini lebih jauh.”, kata sang supervisor.
Tidak sampai 25 menit, keseluruhan proses tersebut telah selesai.
“Selesai pak. ”
“Hapuskan foto-foto yang tidak memuat pesan dari kita.”
“Baik pak. Apa kita kembalikan kameranya sekarang?”
“Tunggu nanti saja setelah dia sudah tidur. Saya juga harus menuliskan permintaan maaf ini terlebih dahulu.”
**********************************
Malam itu, kamera tersebut diantar ke resepsionis hotel tempat Umit menginap.
“Maafkan anak kami yang terkadang masih suka mencuri.”
Demikian tulisan dengan kertas seadanya yang dilampirkan pada kamera itu untuk memberi kesan bahwa kamera itu memang seakan hasil dari pengutilan lalu kemudian dikembalikan.
Sebagian besar foto-foto didalamnya memang telah dihapuskan. Foto-foto yang tersisa didalamnya pun memang telah menjadi rusak akibat proses injeksi pesan yang dilakukan oleh para agen MIT. Namun keseluruhan pesan itulah yang kemudian mengubah jalannya penyelidikan oleh pihak Russia dan membantu menyingkap rencana jahat apa yang sebenarnya sedang disiapkan untuk mereka.
**********************************
Kita tunggu saja apa isi pesan-pesan tersebut dan dari mana pihak Turki bisa mengetahuinya. Tetap nantikan di serial ini ya.
oleh Patsus Namraeru biro Jakarta
Gambar oleh Google
4 Komentar
selamat datang kembali bung Nam .. jangan lelah bung berbagi pengetahuan bung ..
Ditunggu kelanjutannya bung,
Nice artikel
Kurang Panjang (Kapan Novel ini terbit?).
Akhirnya hadir kembali..
Masih intermezzo, semoga ad hub. nya dg ISIS
http://kasamago.com/pesawat-tempur-generasi-ke-6-ala-ilmuwan-indonesia/